Seketika kalimatnya terhenti. Mafumafu menjadi ragu. Perlukah ia lanjutkan kalimat barusan? Apakah dia bisa mengatakan pada orang di hadapannya, bahwa dia adalah seorang pembunuh keji yang kabur dari kejaran penegak hukum?

Pada orang ini, yang baru saja kehilangan sosok berharga?

Menyadari gestur rikuh si albino, Soraru tersenyum tipis. "Pasti berat bagimu untuk sampai kemari. Apa kau kabur dari rumah?"

Ilham untuk berkelit datang menghampirinya.

"B-benar..." Mafumafu mencicit lirih, "aku tidak tahan, jadi aku kabur..."

Dia tidak berbohong, bukan? Dia gagal menahan diri, makanya dia kabur sebagai pelarian.

Bermaksud benar-benar menyudahi pembicaraan tentang dirinya, Mafu menggaruk tengkuk selagi bicara, "Malam semakin larut, ayo kita masuk..."

Soraru mempersilakan Mafu menggunakan kamar tidurnya karena ia ingin tidur di kamar anak-anak. Akan tetapi, Mafu menolak dan memilih untuk tidur di sofa ruang tengah.

Maka disinilah si albino, berbaring menghadap langit-langit dengan tangan tersilang di balik punggung kepala. Sudah ia duga, sendu itu tak mungkin hilang segini kejap. Samar dari dalam kamar di samping dapur itu, isak tangis si raven masih dapat didengar telinganya.

Sampai beberapa menit lalu ia masih berpikir untuk singgah semalam saja di rumah ini. Esok pagi-pagi sekali, ia akan langsung melanjutkan pelariannya dan meninggalkan sepucuk surat untuk si raven.

Tapi sekarang pikirannya sedikit berubah. Ah, mungkin menetap sedikit lebih lama tidak akan menjadi masalah. Ia tak sampai hati membayangkan sosok pemilik netra samudera itu ditinggal sebatang kara, tanpa seorangpun di sisi.

Setidaknya sampai keadaan mental Soraru membaik, biarkan dia menjadi teman penghibur di tempat ini. Selagi berpikir demikian, lambat laun sepasang netranya terpejam, berangkat ke alam mimpi.

Mafumafu tidak yakin penyebab bangun siangnya itu murni kelelahan sehabis menempuh pelarian yang sulit, atau karena telah lama ia tidak merasa damai saat tidur. Tak dapat dipungkiri, tidurnya semalam pulas sekali. Tanpa mimpi, tanpa gangguan berarti. Sudah lama sejak terakhir kali ia merasa ringan sehabis bangun tidur.

Duduk sejenak di tepian, padahal sofa itu tidak terlalu empuk. Biasa saja, layaknya sofa pada umumnya dengan harga yang standar. Si albino tertegun sedikit lama. Satu menit berjalan, raga dibawa bangkit dan mulai mengayun langkah.

Mafumafu dengan perlahan mengintip ke dalam kamar di sisi dapur. Ah, Soraru rupanya pun masih terlelap. Kedua mata si raven tampak bengkak cukup parah. Agaknya tenaga pemilik netra biru samudera itu habis dikuras sang tangis. Kini wajahnya terlihat tenang nan damai, bernapas teratur masih menyamankan diri diantara bantal-bantal aneka warna milik buah hatinya.

Mendapati itu, Mafu tersenyum tipis. Memutuskan untuk tidak mengganggu istirahat sang pemilik rumah. Albino itu bergerak mulai berbenah. Ia rapikan sudut-sudut rumah yang berantakan, mencuci perabot, serta membersihkan sisa-sisa tragedi semalam. Mafu yakin, Soraru takkan kuat kalau disuruh mengepel bercak-bercak darah di ruang tengah itu sendiri.

Jarum pendek jam telah setengah jalan menuju angka sembilan tatkala sepasang mata bengkak si raven terbuka perlahan. Sempat dikuceknya kedua indera penglihat itu sebelum Soraru benar-benar bangun. Tidak, awalnya bukan riuh rendah dari luar kamar yang membuatnya bangun, melainkan sisipan sinar pagi sang surya yang masuk lewat celah-celah kerai. Tapi setelah difokus pikiran nan pendengaran, kegaduhan minor dari balik pintu memang mengundang penasaran.

Maka ia terkejut kala pintu dibuka. Si albino tengah panik berusaha memadamkan kompor yang terbakar. Asap yang membubung dari atas teflon itu jelas hitam pekat warnanya. Sungguh, apapun itu yang tengah dimasak di atasnya, pastilah berubah serupa arang.

HiraethWhere stories live. Discover now