"Makan batagor kuah aja ya, Kak? soalnya kayaknya cuma batagornya Bu Wiwin aja deh yang rada sepi." katanya, sembari mengawasi kedai-kedai makanan yang ada di sepanjang kantin. Caranya meneliti terlihat cukup serius, dan itu benar-benar lucu.

"Boleh. Kamu duduk aja, biar aku yang beli."

"Eh, nggak usah, Kak! Biar aku aja!"

Melihat Rebecca yang tiba-tiba menghadang langkahku, aku jelas mencebik. "Kamu duduk aja. Jagain mejanya biar nggak diserobot orang lain."

"Nggak pa-pa?" tanyanya dengan raut wajah yang sungkan. Lagi-lagi ekspresinya yang lucu dan imut itu membuatku ingin tertawa.

"Ya nggak pa-pa lah, Rebecca! Cuma beli batagor ini, bukan beli ekstasi." kataku, lalu meninggalkannya di salah satu meja kantin yang masih kosong.

Selama aku meninggalkannya untuk memesan makanan, beberapa kali aku melihat orang-orang menyapa Rebecca dengan suara yang riang. Mereka saling melambai satu sama lain seperti telah berkawan lama. Bahkan selama aku menunggu pesanan kami jadi, diam-diam aku menghitung berapa kali ia melambai pada orang-orang di sekelilingnya.

Dari kejauhan, Rebecca terlihat seperti bunga yang baru saja mekar. Dengan warnanya yang indah dan menyenangkan, ada begitu banyak kawanan kupu-kupu yang berjalan menghampirinya. Pemandangan ini jelas berbanding terbalik dengan apa yang terjadi padaku selama ini. Tapi entah mengapa, aku turut senang melihat Rebecca memiliki banyak teman. Ada perasaan lega ketika aku menemukan gadis itu tidak kesepian dalam kehidupannya. Ia memiliki orangtua yang memberinya banyak kehangatan dan teman-teman yang bisa menghargai keberadaannya sebagaimana harusnya.

"Jadi sekarang beneran bakal lupain Arini?"

Aku terlonjak dan nyaris menemukan jantungku meloncat ke lantai saat kepala Cetta tiba-tiba saja bersandar di pundakku. Kedatangannya yang tiba-tiba dan tidak tertangkap pengelihatanku benar-benar membuat dadaku berdegup bukan main.

"Anjing!" aku menumpat, sambil mengelus dadaku. "Salam dulu kek! Kaget gue!"

"Jadi lo beneran nyerah sama perasaan lo?" anak itu kembali bertanya. Kali ini raut wajahnya terlihat serius, seolah dia benar-benar mengkhawatirkan hubunganku dengan Arini.

Ketika pertanyaan itu mulai menyebar ke dalam kepalaku, yang bisa aku lakukan hanya mencebik dan menarik napas panjang. Pertanyaan itu tidak sulit. Ia hanya memiliki dua jawaban, iya atau tidak. Tapi entah kenapa aku tidak memiliki jawaban apapun untuk diriku sendiri.

"Gini nih kalau udah suka sama sahabat sendiri. Ribet." Cetta kembali menyeletuk, dan aku terkekeh ketika menyadari bahwa apa yang baru saja ia ucapkan adalah benar.

"Ya gitu deh. Kalau gue ngaku ke dia, persahabatan kami pasti bakalan canggung banget. Kalau gue nggak ngaku, rasanya kayak mau gila." kali ini aku menyambung dengan senyum pasi. Di sampingku, Cetta tidak mengatakan apa-apa. Raut wajahnya terbaca jelas bahwa dia sedang mengkhawatirkanku saat ini.

"Tapi lo tahu nggak sih?" beberapa detik kemudian, aku menoleh ke arahnya. "Di satu sisi gue ngerasa seneng tiap denger Arini cerita soal Sanjaya. Gue lega soalnya dia akhirnya ketemu sama orang yang dia mau."

"Meskipun orang yang dia mau ternyata bukan lo?"

Aku mengangguk sambil terkekeh. "Meskipun orang yang dia mau bukan gue."

Suara hela napas Cetta terdengar begitu jelas di telingaku. Sama sepertiku, tidak ada yang bisa Cetta lakukan selain menghargai keputusanku. Sepanjang hidupku, ini adalah kali pertama ia melihatku begitu putus asa pada perasaanku sendiri. Jadi melihat sikapnya yang seperti ini, aku berusaha untuk mengerti. Sebagai seorang kakak, aku paham bahwa Cetta pasti ingin melakukan banyak hal untukku. Tapi karena dia juga memiliki banyak keterbatasan, yang bisa ia lakukan hanyalah menepuk pundakku. Hanya dengan cara seperti ini ia mengatakan padaku bahwa ia peduli.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang