#5. Menuju Agustusan

500 94 14
                                    

"Den, kamu gak kuliah dokter kayak Aa kamu? Keluarga kamu juga dokter semua 'kan?" tanya Juni penasaran, setelah hari demi hari aku dekat dengan Juni sebagai teman musuhan atau ledek-ledekan karena dia emang nyebelin orangnya.

"Panjang itu ceritanya," jawabku.

Iya, pada akhirnya aku cuma masuk universitas yang sama dengan keluarga tapi beda jurusan karena dari awal aku gak pernah milih dan mau untuk jadi dokter gigi. Sempat ribut di rumah, yang penting anaknya yang paling ganteng tetep aku dibanding si Aa sekalipun!

"Den," panggil Juni.

"Apa?"

Saat itu aku dan Juni sedang di bangku kayu yang terletak di pos ronda di jalan rumahku & rumah Juni juga sekitar jam 5 sore,

"Nanti terus temenin aku ya pas Agustusan, aku pernah sih jadi panitianya tapi aku belum akrab aja disini selain sama Deden atau Teh Widi, aku gak tau kalo desa ini gede banget, pemudanya lebih banyak dari yang aku bayangin." tutur Juni.

"HAAHAHAHAH-"

"Kunaon ari sia?!" katanya, marah.
Kenapa sih lo?!

"Pantesan judes waktu dihereuyan di warung, kamu takut sama pemuda disini?"

"Bukan takut!"

"Alah ngomong aja! Kamu itu sok judes sok galak, padahal aslinya takut 'kan sama laki-laki?"

"Aku gak gitu!" jawabnya dengan nada agak naik dan mata berkaca-kaca.

"Eh? Juni?" mendadak aku diam.

Tiba-tiba Juni berdiri dan pergi, aku diam di tempat karena gak ngerti situasi yang baru saja terjadi. Juni sakit hati atau kenapa, ya? Padahal selama ini kalau diketawain dia biasa aja. Pada akhirnya aku gak kejar Juni, kulihat dia masuk ke rumahnya dan ya udah, aku pun berdiri dan pulang.

Malamnya sama sekali gak ada perasaan mengganjal, apa Juni lagi mens ya? Ambu juga kalau lagi mens biasanya marah-marah dan gampang nangis. Malam itu, Aril dan beberapa temanku datang ke rumah. Kami berkumpul di teras rumahku.

Teras rumahku itu agak tinggi dari pagar masuk, kalau dijelaskan kelihatannya dari luar jadi setelah pagar itu ada garasi terbuka, sebelah kiri garasi baru lah ada beberapa anak tangga yang kemudian sampai di teras rumah. Teras rumahku memang bisa dibilang gak kecil, jadi teman-temanku suka melakukan apa saja di teras rumah termasuk seperti sekarang.

Ada yang makan kacang tanah rebus, minum kopi, main gitar, merokok, ngobrol, dan ngisi TTS. Sementara aku cuma merokok sambil mendengarkan yang mengobrol.

Sedikit kedengaran langkah kaki dari arah kanan di jalan, aku gak bergerak tapi curi-curi pandang. Ternyata benar, Juni lewat dengan setelan piyama dan rambut diikat, dua tangannya dimasukkan ke saku bajunya dan terus berjalan lurus tanpa menengok.

"Hey! Hey!" panggil salah satu temanku ke arah Juni, disusul beberapa temanku yang lain ketawa-ketiwi.

"Judes amat."

"Sssst, jempe." kataku.
Ssst, diem.

"Naon, Den?"
Apaan, Den?

"Jempe." ulangku sambil menatap salah satu temanku yang manggil-manggil Juni.
Diem.

Malam itu ada Aril juga di teras rumahku, tapi dia cuma diem.

"Kabogoh maneh, Den?" tanya yang lain.
Pacar lo, Den?

"Iya, jangan digituin. Dia gak suka."

PANASEA 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang