Biru

5 0 9
                                    














Dulu seingatku, semua begitu indah. Ingatanku tentang air, cezka dan abey. Semua ingatan paling indah tersimpan rapat pada setiap detik pada musim panas, setiap tarikan nafasku di atas pesisir pantai yang ombaknya bewarna biru jernih. tentang bagaimana matahari mengiringi senyumku, angin yang menjadi patnerku menari, air ombak datang dan pergi dengan riang. Aku selalu membuat setiap bagian musim panas menjadi bagian paling bahagia dalam satu tahun, menempatkan bagian spesial pada hidupku juga hatiku.

bagaimana seluruh memori 24 tahun itu hisa hancur lebur dalam satu hembusan ombak besar setinggi 5 meter? Terseret ombak menyapu setiap persihan momen momen bahagia itu, mengantam keras batu barang hingga membuatnya hancur tak bersisa bagai buih yang meletus di lautan?

Dalam biru ku saksikan keagunganmu
Kebesaranmu yang mahadahyat
Kekuatanmu yang sangat takterkalahkan
Kedinginanmu yang menusuk hingga tiap rongga tulang rusuku.

Laut yang tenang menjadi bising
Ombak terus maju menghantam batu batu bangunan manusia
Menenggelamkan harapan
Membawa pergi kebahagiaan.

Samudra lepas telah mengirimkan sedikit pasukanya
hadiah katanya
Untuk para manusia bedebah yang tidak tahu diri
Untuk itu
karena itu
Satu pulau yang menerima hadiahnya













—————




















kering, tenggorokanku kering sampai sampai rasanya sakit hanya untuk berbicara, padahal aku yakin sekali beberapa menit sebelumnya tubuhku hingga dalamnya di penuhi oleh banyaknya air, mungkin karena yang aku telan itu adalah air laut, jadi tenggorokanku seperti perih menelan air asin juga butir butir pasir di dalamnya.

senyap, suara jangkrik pun enggan berbunyi di siang hari ini, bahkan burung juga ogah untuk sekedar menangkring di sini, aku rasa para hewan hewan juga berbela sungkawa pada bergelimpangan mayat manusia.

tidak ada yang bisa aku dengar selain deru nafasku sendiri yang berat, dadaku rasanya masih terisi air hingga untuk sekedar menarik nafas saja dadaku harus mengalami ngilu. pandanganku yang buram tidak fokus ini berusaha ku tuju pada langkah kadahapanku.

harus jalan, harus bernafas.

aku tidak tahu tubuhku basah akibat keringat atau bekas air barusan, keningku basah satu demi satu tetesanya jatuh mencampur dengan genangan di kakiku, bibirku kering mengelopek hingga tenggorokan, kantong mataku sangat berat dan perih membuat pandanganku sedikit buram. langkahku sompoyongan, dengan penuh sisa sisa tenaga yang ku miliku, perjalanan tak berujung bak neraka ini harus ku lalui di bawah terik matahari.

tidak ada yang lebih baik dari pada mati untuk saat ini.

kakiku melagkah berat, masuk dalam genangan penuh puing puing tertumpuk segala macam, milik alam serta milik manusia yang tercampur satu seperti bahan bahan dalam adonan kue. telapak kakiku yang telanjang berpijak pada tanah lumpur yang tercampur pasir, juga serta puing puing bangunan yang tajam. sakit, perih, ngilu, pegal, rasanya tubuhku sudah remuk di hantam segala macam, tulang tubuhku seperti ditumbuk oleh cobekan milik ibuku yang asli katanya dari sumatra. tapi menyingkirkan rasa sakit yang rasanya ingin mati, aku di paksa oleh keadaan untuk tetap berjalan, menelusuri deretan permukiman warga beberapa jam lalu sebelum berakhir menjadi daratan rata yang tergenang air asin, pohon pohon kelapa di sekitar sini bahkan ikut tersapu rata, beberapa ada yang masih berdiri walau keadaaanya memprihantinkan.

Di bawahku penuh genangan air, sekitar puluhan hektar di sekitarku sudah rata, tidak ada sesuatu yang menjulang tinggi setelah di kikis habis oleh ombak. Sisa sisa rumput ilalang tinggi yang masih mencenkram kuat tanah, tingginya sepingangku, tajam tapi maupun aku dan abey tidak peduli dengan ini semua.

What ifWhere stories live. Discover now