"Wu Xie..." Ia berbisik, seperti dalam mimpi.

Pemuda itu membalas sapaannya dengan senyuman yang masih menggetarkan seperti dulu, dengan cahaya indah memancar di matanya.

"Xiao ge," dia nampak ingin menghambur pada pria tampan dan lebih dewasa yang kini berdiri di bawah bayang-bayang pepohonan mirip jelmaan peri hutan.

Tetapi Wu Xie menahan segala bentuk tindakan konyol, dan garis yang terbentuk di sudut bibir dan matanya menyiratkan bahwa ia lebih tenang dan dewasa sekarang. Pikirannya memfilter satu dari ribuan pertanyaan yang nyaris tak mampu diungkapkan, dan ia menemukannya dari bawah tumpukan kenangan lama.

"Apakah kau sudah memiliki kekasih?"

Dia bertekad tidak akan bertanya apa kabar karena dengan melihat wajahnya Wu Xie tahu bahwa Zhang Qiling hidup dengan baik dan normal. Dia juga tidak perlu bertanya bagaimana pria itu bersedih karena perpisahan mereka. Duka itu membayang jelas di sana, di permukaan mata gelapnya. Mungkin sudah sejak lama.

Zhang Qiling disergap seribu nostalgia. Pertanyaan itu terdengar lucu untuk dua orang yang baru saja berjumpa setelah sekian lama berpisah. Dia masih menemukan sekilas kepolosan Wu Xie dalam kedipan matanya, dalam cara ia mengukir senyum tipis dan ragu-ragu di bibirnya yang indah.

Untuk menjawab pertanyaan itu, Zhang Qiling hanya menggeleng dengan senyuman hambar di wajahnya.

"Menyedihkan, bukan?" gumamnya di antara keheningan.

Mata Wu Xie berbinar cerah, memantulkan cahaya matahari pagi.

"Bagaimana denganmu?" Zhang Qiling balik bertanya seiring debaran aneh di dadanya.

Alih-alih menjawab, Wu Xie berjalan mendekatinya. Masih dengan gayanya yang seperti dulu, ia bertindak cepat dan berani. Di luar dugaan, Wu Xie menciumnya, dan dalam ciuman itu Zhang Qiling menemukan jawabannya.

Apakah itu cinta yang dia rasakan?  Atau perasaan yang bahkan melebihi cinta? Karena cinta adalah emosi manusia, dan apa yang ia rasakan sekarang melampaui apa pun di bumi ini.

Zhang Qiling membalas ciuman selamat datang dari kekasihnya yang sempat hilang, yang dibawa kembali oleh ombak kehidupan ke dalam pelukannya yang selama ini hampa.

Momen ini terlalu sempurna untuk disulap oleh manusia. Karena Wu Xie bersamanya, dan saat ciuman berakhir,  wajahnya menegang dan air mata keluar, dalam pandangannya hanya melihat dia. Wu Xie tertawa sekaligus menangis. Zhang Qiling memeluknya erat dan ia berbisik, saat matanya terpejam.

"Betapa aku merindukanmu," katanya di telinga Wu Xie.

"Kukira kau tidak akan datang lagi.."

Wu Xie mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis, "Kau yang selalu datang padaku, Xiao ge. Karena hanya kau yang bisa melihat benang merah takdir yang mengikat kita."

"Kau masih percaya itu?"

Wu Xie mengangguk. "Bagaimana denganmu?"

Zhang Qiling belum pernah merasa seyakin sekarang saat menjawabnya.

"Ya. Kehadiranmu membuktikan bahwa ikatan itu benar. Mulai saat ini, mari kita bersama selamanya.."

Desir angin sejuk menyapu wajah mereka, tapi hati keduanya hangat oleh cahaya harapan dan cinta. Zhang Qiling menggenggam jemari tangan Wu Xie, menciumnya sekilas dan berkata.

"Di tepi danau, ada sebuah pondok yang molek dan indah. Di sanalah aku merangkai kembali semua kenangan tentang kau dan aku. Ayo kita ke sana, ada banyak cerita yang ingin kusampaikan padamu."

Wu Xie mengangguk setuju, memandang sekali lagi wajah pria itu seperti ia menatap orang mati yang tiba-tiba hidup kembali.

"Aku juga memiliki banyak cerita. Kita memiliki waktu yang panjang untuk membaginya, bukan?"

𝐅𝐢𝐫𝐬𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞) Where stories live. Discover now