The Epilog

583 28 1
                                    

            Aku dapat merasakan dadaku sakit seperti halnya ditikam dengan pematik perapian. Tenggorokanku terasa kering dan dadaku sesak. Mengingat berbagai kejadian itu membuyarkan bayanganku tentang aku yang sedang duduk di kafe sembari meminum teh panas di saat cuaca hujan sendirian. Aku memejamkan mataku— berusaha mengembalikan bayang bayang tentang aku yang sedang duduk di kafe. Tetapi semua bayangan itu buyar menjadi berpuluh-puluh bagian. Kepalaku terasa sakit. Aku lelah, aku lelah akan semuanya! Aku lelah terus-terusan membayangkan diriku yang sedang duduk menikmati teh di pinggir jendela kafe tempat biasa aku dan Michelle bertemu.

            Karena pada kenyataannya aku diam, duduk menatap sup yang telah dingin dari balik jeruji penjara.

            Rintik-rintik hujan turun perlahan. Butiran-butiran tangisan langit itu turun membasahi bumi hingga menimbulkan bau khas hujan. Air hujan memercik masuk dari balik jendela penjara yang berjeruji. Aku memeluk lututku. Mengecilkan diriku di sudut kamar sel. Hawa dingin berhembus masuk, angin berderu kencang dan dingin diluar sana. Membuat gigiku saling bergemelutuk kedinginan. Hujan air berubah menjadi salju-salju tipis akibat udara yang dingin. Kembali membawaku kedalam nostalgia suram bagaikan mimpi buruk itu. Dinginnya persis seperti ketika Michelle mencampakkanku ketika aku membunuh Jared. Aku merupakan seorang pembunuh. Ya, itu benar. Butuh sembilan belas tahun lagi sampai aku dapat keluar dari balik jeruji penjara. Semuanya telah hilang. Semuanya telah pergi dan meninggalkanku sendiri. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Semuanya telah terlambat. Dan sekarang aku kehilangan segalanya.

             Aku menghela nafas sembari membuka mataku. Dan tatapanku langsung tertuju kepada sebuah garpu besi yang berada disebelah mangkuk sup. Keputusasaan telah memanggilku. Dengan gerakan lambat aku mengambil garpu dan dengan cepat aku menghujamkan ujung garpu yang tajam ke pergelangan tanganku— tempat dimana urat nadiku berada, terus berkali-kali dengan keras hingga menimbulkan luka pendarahan di sana. Aku telah kehilangan segalanya. Aku telah kehilangan Michelle. Cintaku yang cantik mempesona, putri sekaligus ratu hidupku, kekasihku... aku kehilangan semuanya.

            Tubuhku terasa lemas, entah karena faktor pendarahan atau kehabisan ekstasi. Aku kembali menidurkan tubuhku di lantai yang sedingin es. Kelopak mataku terasa berat. Sayup-sayup aku mendengar suara Ibuku memanggilku serta dinginnya hawa kematian menyelimutiku. Dinginnya membekukan tubuhku. Aku merasa ringan— terbebas dari rasa sakit yang menghantuiku. Lalu pandanganku berubah menjadi gelap seutuhnya.

            “Farewell my sweetest darling Angelo.”

_______________

            Cinta itu gila, Cinta itu membutakan, Cinta yang gila terbutakan oleh sebuah kecantikan seorang gadis. Gadis berwajah baik bagaikan malaikat tetapi itu hanyalah sebuah topeng kepalsuan untuk menutupi segala kebusukannya, kejahatannya, kelicikannya yang merupakan fakta bahwa dia merupakan seorang iblis pelacur berwajah malaikat.

            Cinta yang terbutakan oleh kecantikan yang berbahaya.

            Dangerous Beauty.

Dangerous BeautyWhere stories live. Discover now