Kekehan pelan -- yang terdengar mirip ejekan di telinga Zhang Qiling.

"Tidak setiap hari," Zhang Qiling meralat, tidak terima dihakimi.

"Pemuda itu membuatmu sibuk," timpal paman Rishan, tidak mengangkat pandangan dari halaman surat kabar.

"Aku memutuskan pensiun jadi makcomblang," ujar Zhang Qiling bersandar di dinding dalam ruangan yang sama.

Lagi-lagi, kekehan menyebalkan dari bibir paman Rishan, membuatnya jengkel. "Membantu menyatukan pasangan akan menumpuk karma baik untukmu," ia berkata sok bijaksana.

"Apa ada pengaruh bagi hidupku? Sekian tahun jadi makcomblang, aku hidup dalam kesepian dan menjadi single menyedihkan," ia cemberut, membicarakan hal ini membuatnya dirayapi perasaan tidak nyaman dan kesal pada diri sendiri, meski pun masa-masa sepi itu telah terlewati.

"Jadi, karena kau sudah bersama dengan kekasihmu, kau tidak mempedulikan benang merah takdir itu lagi?"

Zhang Qiling mengangkat bahu, "Tergantung."

"Aku masih tidak yakin bahwa kau benar-benar percaya tentang benang merah ini. Kau menganggapnya sebagai sebuah beban, dan terkadang keyakinanmu surut."

"Ayolah paman, masih banyak yang harus kulakukan selain jadi makcomblang. Hidup ini sibuk," elak Zhang Qiling, mulai tidak sabar.

"Ingat sekali lagi. Karma baik. Kau tidak ingin melihat pasangan lain bahagia? Ini kutukanmu, Xiao ge. Jika kau menunjukkan banyak jalan yang tepat pada pasangan untuk berbahagia, mungkin suatu hari, kebahagiaan itu akan datang menghampiri hidupmu."

Zhang Qiling tersenyum singkat, matanya cemerlang oleh kebahagiaan. "Aku sudah menemukannya."

"Kau sudah menemukannya sejak lama," tukas paman Rishan.

"Setelah itu kau kehilangan dia bukan? Apakah kau yakin kali ini dia tidak pergi lagi?"

Zhang Qiling termenung. Teringat Wu Xie memberitahunya bahwa ia berada di Hangzhou hanya dalam rangka liburan selama dua bulan. Itu artinya dia akan pergi, dan mereka berpisah lagi untuk sementara.

"Dia akan pergi lagi, tapi kali ini situasinya berbeda. Kami lebih dekat dan lebih mudah untuk saling menghubungi. Akan lebih mudah bagi kami untuk bersama."

Paman Rishan tersenyum samar, ekspresinya tetap tenang, walau pun cara dia bicara seolah ingin mempermainkan perasaan keponakannya.

"Dua orang tetap bersama bukan karena ada alat komunikasi. Tetapi, niat yang ada di dalam hati."

"Lalu apa gunanya benang merah takdir?"

"Ikatan itu akan tetap terjalin meski pun kau tidak melihatnya. Yang paling penting, hatimu percaya."

Saat dia menatap sang paman,  memperhatikan apa yang dia katakan, pikirannya melayang ke masa lalu. Dia memikirkan lagi tentang jalan yang telah mempertemukan dirinya dan Wu Xie. Teringat kembali saat malam itu di balkon ruangan kerjanya, di mana ia menjelaskan pada Wu Xie, atas alasan apa dia selalu bisa bertemu Wu Xie lagi dan lagi.

Apakah kau percaya benang merah takdir yang terikat di antara seseorang dengan pasangan hidupnya?

Ya -- aku percaya.

Kau percaya meski tidak bisa melihatnya?

Kenapa tidak?

Bayangan wajah tampan dan senyuman ceria itu kembali membayang di pelupuk mata. Saat itulah dia tahu dia ingin membawanya ke dalam pelukannya untuk selamanya. Dia ingin selalu menunjukkan bahwa saat dia pertama kali jatuh cinta padanya, dia tidak pernah berhenti mencintainya.

𝐅𝐢𝐫𝐬𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞) Where stories live. Discover now