#4

173 31 35
                                    

Kalau masalah enggak bisa selesai karna nggak punya jalan keluar, maka disinilah Anaraya sekarang. Berdiri di depan sebuah halaman untuk menunggu Qian pulang. Niatnya, ia mau menyudahi apa yang memang seharusnya usai, tapi juga enggak menutup kemungkinan kalau dia masih mau mempertahankan. Mungkin mempertahankan sesuatu yang sudah jelas-jelas punya jawaban, mungkin juga mempertahankan banyak rasa yang masih belum mau selesai.

"Kenapa?" tanya Qian begitu tiba dihadapan, pun menjadi kata tanya pertama yang membuka percakapan. "Sendirian?"

Kenapa masih peduli?

"Iya,"

"Oh... mau ketemu ibu?"

Gadis itu menggeleng, "Mau ketemu kamu," ujarnya dengan perasaan yang masih belum benar-benar yakin. "Aku udah baca emailnya, aku juga udah coba untuk mempelajari kesalahan aku tuh sebenernya di sebelah mana. Tapi, gimana sama diri kamu sendiri yang selalu tiba-tiba?"

Sebelum benar-benar menjawab, Qian mempersilahkan Anaraya untuk duduk lebih dulu, setidaknya untuk mengulur waktu.

"Tiba-tiba gimana?" tanya Qian dengan suara penuh pengertian. Selain karisma dari rupa yang enggak bisa didefinisikan, Qian juga punya banyak pesona dari caranya dalam menyikapi perempuan.

Seperti halnya jatuh cinta pada kali pertama di seumur hidupnya, Anaraya berani berbicara kalau enggak ada selain Qian yang bisa ia sikapi dengan penuh pengertian. Dengan apa-apa yang ia utamakan rasa senangnya, dengan apa-apa yang selalu Anaraya utamakan bahagianya.

Tapi Qian juga begitu kok. Laki-laki yang satu ini selalu punya caranya sendiri untuk membuat Anaraya mengerti bahwa enggak ada selain dirinya yang selalu Qian perhatikan setelah Bunda, bahwa enggak ada selain Anaraya yang mampu ia jadikan sebagai tempat pulangnya.

"Gini," Anaraya beralih menatap Qian, mengangkat kepala dari tunduknya yang seolah menyuarakan kata kalau dia sedang merasa enggak biasa. "Dari beberapa Minggu lalu setelah kamu membatasi diri dari aku, sebenernya aku udah merasa engga apa-apa. Aku juga merasa kalau mungkin ada kesalahan yang aku perbuat tapi aku enggak menyadari itu karna ya... aku sendiri enggak merasa berbuat apa-apa yang bikin kamu sampai mau menyudahi hubungan kita secara tiba-tiba," suaranya terbata, Anaraya benar-benar enggak bisa merasa tegas kalau dihadapkan dengan kisahnya.

"Maksud aku gini kak," ia lagi-lagi bersuara. "Apa kamu engga berpikir ulang? Kaya misalnya, "Anaraya bakal merasa gimana ya kalau aku bersikap seperti ini? Anaraya bakal sedih enggak ya kalau aku ngomong kaya gini?" atau memang sama sekali enggak pernah ada nama aku dari setiap pertimbangan di semua keputusan yang kamu buat?"

"Ann..." Qian buru-buru menjeda sebelum Anaraya memalingkan wajahnya, membuang jauh-jauh rasa sedih dari posisinya. "Waktu itu aku bilang kalau enggak ada alasan dan kesalahan yang kamu perbuat selain diri aku sendiri yang merasa kalau kayanya, semakin lama kamu sama aku, semakin banyak juga rasa sakit yang kamu pendam sendiri seiring berjalannya waktu. Dan aku enggak mau kamu kaya gitu, aku nggak mau kalau kamu sering merasa seperti itu. Bukan karna aku udah enggak sayang, bukan,"

"But it's hurt me, kak..." jawabnya. "Aku kira kamu sekedar lagi di fase kaya biasa, fase yang sibuk-pusing-cape-enggak mau diganggu. Tapi ternyata enggak. Aku tunggu kamu balik lagi buat bilang kalo itu cuma keputusan terlalu cepat yang enggak sengaja kamu ambil tapi kamu tetap enggak bilang apa-apa lagi sampai hari ini,"

Kini keduanya diam. Qian yang menunduk enggak punya jawaban dan Anaraya yang beralih menatap pohon karna enggak ada objek lain yang bisa ia tatap untuk mengalihkan kesedihan.

Mungkin seharusnya enggak seperti itu Qian, mungkin seharusnya enggak seperti itu cara kamu dalam menyikapi suatu persoalan.

"Kamu maunya kaya gimana sekarang?"

Adu rayu (short story from #aplomb)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang