#2

217 36 39
                                    

Pada bagian kedua ada kata tak sengaja yang mengawali pertemuan keduanya, lewat sebuah pesan sederhana, dengan deretan kata yang begini tertata;

Aku baru selesai nyusun silabus semester, sekarang kita bisa ngobrol lebih lama tanpa takut diganggu siapa-siapa. Hari ini kamu ada waktu kan, Ann?

Lantas senyum miliknya kembali tertera entah karna alasan apa, yang ia tahu, bahwa sebanyak apapun rasa kecewa yang ia rasakan pada Qian, semuanya enggak akan sebanding dengan rasa sayang.

Dan setelah mengiyakan ajakan lelaki itu, Anaraya berjalan keluar dari kelasnya yang sengaja ia tumpangi lebih lama, lalu menyusuri area koridor yang kali ini jauh lebih ramai dari biasanya.

"Halo?" Gadis itu melambai seraya berujar pelan, menyapa Qian yang hanya membalasnya dengan senyum dan anggukan. Hanya beberapa detik, setelahnya lelaki itu kembali terfokus pada laptop dihadapannya.

Area perpustakaan kampus kali ini cukup lengang, mungkin karna hampir separuh mahasiswa sudah menikmati jam pulang. Atau mungkin juga, seperempatnya masih heboh memandangi mading di lantai bawah yang mengumumkan bahwa event olahraga kampus dengan festival musik dijadwalkan berdekatan.

Anaraya mendudukkan diri dihadapan Qian, sebelum akhirnya bertanya untuk mengurangi kecanggungan, "Daritadi kak?" tanyanya.

Kali ini pandangan Qian sudah beralih, benar-benar menatap Anaraya, membuat gadis itu merasa sedikit lebih dihargai kehadirannya.

"Iya,"

"Oh," Anaraya mengangguk-anggukkan kepala pelan. "Udah makan?"

"Udah,"

"Udah minum?"

"Udah,"

"Udah sadar?"

Eh.

Anaraya kembali tersenyum canggung setelah tatap datar Qian--- yang mungkin bisa diartikan 'Baru ketemu udah ada perkara ribut aja'--- menuju ke arahnya.

Gadis itu meringis sebelum menunduk bingung. Kalau sudah ada di satu meja dengan Qian dan tatap yang menurutnya mengerikan, Anaraya enggak tau harus berbuat apa selain memancing keributan (enggak, ini bercanda).

Setelah dirasa cukup nyaman, Anaraya kembali melayangkan tatapan, kali ini penuh pengertian. "Engga ada yang mau diomongin gitu setelah dua Minggu kamu ngilang dan engga ngasih kabar apa-apa?"

"Engga," balas Qian seadanya. "Aku memang engga ngasih kabar, tapi kan selama di kampus kamu liat aku ngapain aja, kamu juga liat aku sibuknya kaya gimana,"

"Ya kalo gitu sih apa bedanya aku sama yang lain," Anaraya ikut membalas seadanya. "Kamu kalo udah kaya gini susah ditebak kak," sambung gadis itu dengan tawa kecil di akhir kata.

Bahkan mungkin setelah menghabiskan banyak waktu bersama dan obrolan yang memperkuat hubungan mereka, nyatanya Anaraya enggak pernah benar-benar paham seperti apa sifat laki-laki dihadapannya.

"Kamu cape engga sama aku?" Qian tiba-tiba bertanya setelah diam cukup lama. "Dijawab ya,"

"Engga,"

"Engga apa?"

"Engga cape,"

"Kalau kita kaya gini terus, kamu tetap engga bakal cape?" ulangnya sekali lagi.

Dan Anaraya masih tetap menggeleng, mengikuti kata hatinya.

Tapi berbeda dengan Anaraya yang tersenyum penuh yakin, Qian justru sudah hampir frustasi dan berakhir menutup laptopnya. Ia bahkan bingung harus melepas Anaraya dengan cara yang seperti apa.

Adu rayu (short story from #aplomb)Where stories live. Discover now