"Yaudah gue temenin," ucap Jiwa.

***

Ini pertama kalinya lagi Jiwa pergi ke keramaian tanpa Oma Marie. Biasanya Jiwa pergi bersama Oma Marie sebulan sekali ke pasar. Oma tau kondisi Jiwa, karena orang tua Jiwa menitipkan gadis itu kepada Oma Marie. Jadi, Oma Marie banyak membantu Jiwa untuk beradaptasi pada kondisinya dengan sesekali membawanya ke keramaian.

Banyak orang berlalu lalang, setiap Jiwa melihat orang-orang terdengar jelas suara jiwa dari setiap orang tersebut. Terlalu bising di telinganya. Iya menutup matanya untuk menenangkan dirinya. Terlalu takut untuk menggenggam atau menyentuh tangan Raga. Tapi karena sudah tidak kuat Jiwa menarik tangan Raga dan meremasnya kuat. Seketika semuanya sunyi.

"Lo kenapa?" tanya Raga yang mulai melihat Jiwa merasa tidak baik-baik saja.

"Ga, sebenernya gue takut keramaian," Jiwa berbohong pada Raga. "Boleh ga gue pegang kelingking lu biar ngerasa aman?"

Raga mengangguk karena memang benar, Jiwa terlihat takut dan sedikit pucat.

Jiwa kenapa ya? Kok mendadak pucet banget. Ini pulang aja kali ya, takutnya dia malah kenapa-kenapa.

Suara jiwa dari Raga terdengar jelas oleh Jiwa.

"Ga, yuk jalan. Gue udah gapapa, yang penting gue boleh pegang ujung jari lu aja," sudah sejauh ini Jiwa tidak enak jika harus pulang ke rumah sia-sia.

"Lo yakin?" tanya Raga, Jiwa mengangguk. "Yaudah gue gandeng aja kalau lu emang takut," Raga mengambil tangan Jiwa dan menggandengnya.

"Kalau ngerasa ga enak langsung ngomong ya biar kita balik," ujar Raga pada Jiwa.

Sepanjang perjalanan Jiwa menggenggam tangan Raga. Benar saja, selain suara jiwa dari Raga tidak ada lagi suara jiwa orang-orang yang terdengar. Jiwa merasa takjub dengan ini semua. Ada apa dengan Raga? Mengapa Raga bisa menjadi obat penawar rasa sakit untuk Jiwa? Raga tidak banyak bicara di dalam hatinya, ia hanya fokus berbelanja setiap keperluan agar bisa cepat pulang. Raga cukup kuatir saat melihat perubahan pada wajah Jiwa tadi.

"Ga, mau mampir ke toko kopi di situ gak?" Jiwa menunjuk sebuah sudut toko di ujung jalan bernama Kilam Kopi. Tidak terlalu ramai. Menurut masyarakat di situ, kopi yang disajikan sangat enak. Sudah beberapa bulan di sini tapi Jiwa belum pernah mencoba kopi di sana.

"Apa gak sebaiknya pulang aja? Gue takut lu kaya tadi lagi," ujar Raga.

"Gapapa, di sana sepi kok kayanya kalau pagi-pagi gini. Mumpung di sini Ga," bujuk Jiwa.

"Coffee latte dan Americano atas nama Ka Jiwa Raga," Barista toko kopi itu memanggil

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Coffee latte dan Americano atas nama Ka Jiwa Raga," Barista toko kopi itu memanggil.

Raga segera berdiri dari kursinya menghampiri ke arah Barista.

"Nama samaran ya Ka?" tanya Barista itu pada Raga.

"Hah? Bukan. Itu nama asli," sahut Raga.

"Namanya unik, adik kakak ya?" barista itu masih terkesan dengan nama Jiwa dan Raga.

"Bukan cuma temen aja kok."

Raga tersenyum kemudian meninggalkan Barista itu dan segera menghampiri Jiwa yang duduk sendiri menghadap jendela yang mengarah ke taman. Coffe latte untuk Jiwa dan Americano untuk Raga.

"Nih," Raga menyodorkan segelas coffee latte dengan  tulisan nama Jiwa di cupnya.

"Thank you," ucap Jiwa.

"By the way, nama panjang lu siapa sih?" Raga membuka pembicaraan.

"Tiba-tiba banget?" ujar Jiwa.

"Tadi baristanya pikir nama kita tuh nama samaran. Terus gue penasaran aja nama panjang lu siapa," sahut Raga.

"Coba tebak."

"Asuransi Jiwa?" sahut Raga sambil tertawa kecil merasa geli dengan jawabannya sendiri. Wajah Jiwa berubah kesal. "Ya terus siapa?" lanjut Raga.

"Calliope Jiwanada," ujar Jiwa, Raga mengerutkan dahinya tanda bingung dengan nama tersebut seolah meminta penjelasan. "Calliope itu bahasa Greek artinya melodi yang indah, kalau Jiwanada , Jiwa itu gabungan nama mama sama papa gue, Jia dan Warren karena mereka suka musik ditambahin deh nada jadilah Jiwanada," jelas Jiwa.

Raga hanya membentuk huruf O dengan mulutnya sambil mengangguk.

"Kalau nama panjang lu siapa? Bina Raga? Atau Olah Raga?" Jiwa seolah membalas dendam dengan membuat candaan nama Raga.

"Hmmm. Suka-suka lu," kata Raga sambil meneguk Americanonya.

"Becanda ihh," Jiwa tampak enteng memukul lembut lengan Raga. "Jadi siapa nama panjangnya?"

"Aksaraga Allegra," jawab Raga singkat.

"Allegra? Lively tempo?" sahut Jiwa. Raga cukup terkejut karena Jiwa mengetahui arti namanya. "Kalau Aksaraga?" lanjut Jiwa.

"Aksa itu bahasa Hindi, artinya Mata. Kata nyokap mata gue bagus dari pertama kali ngeliat gue, raga ya raga," jelas Raga.

"So your parents pray, trough your eyes people can find happiness or lively live?" Jiwa membuat kesimpulan.

"Anggep aja begitu," tutup Raga.

Penilaian Jiwa terhadap Raga berubah karena ternyata Raga tidak seburuk yang Jiwa pikirkan saat pertama kali bertemu. Jiwa merasa nyaman dan cepat akrab dengan Raga padahal mereka baru saja kenal. Hal itu karena Raga juga orang yang cepat beradaptasi dengan situasi yang baru.

"Ga, let's be friend," Jiwa mengulurkan tangannya sambil tersenyum.

"Out of sudden?" Raga bingung.

"Ya, gue gak punya temen seumuran di sini, gue pikir berteman sama lu gak ada salahnya. At least selama lu nginep di rumah Oma? Dua minggukan lu nginep di sini? Lagian dua minggu di sini emang lu ga bosen apa main sama Oma doang?" bujuk Jiwa.

"Enggak," jawab Raga datar.

"Yaampun, Ga. Ayolah Ga, pegel nih tangan gue," paksa Jiwa sambil menyodorkan tangannya.

"Yaudah kalau maksa," Raga menyambut tangan Jiwa sambil tersenyum.

Padahal Raga hanya asal menjawab Barista saat mengatakan bahwa dia dan Jiwa adalah teman. Beberapa menit kemudian hal itu langsung menjadi nyata. Keduanya menghabiskan kopi yang mereka pesan masing-masing sambil sesekali melontarkan pertanyaan bergantian. Raga merasa tidak terlalu  buruk berteman dengan Jiwa, sedangkan Jiwa merasa keberadaan Raga sebagai obat penawar rasa sakitnya membuat kondisinya lebih baik.

***

A faithful friend is the medicine of life.


UnconditionallyWhere stories live. Discover now