part 4

589 65 8
                                    

Keringat dingin mulai bermunculan saat itu, dengan badan lemas di tambah perasaan terus menerus merasakan was-was tak karuan dengan apa yang sedang terjadi sebenarnya.

Wajah mbak Nur sendiri sudah menandakan ketakutan yang sedang ia rasakan, perlahan kakinya mulai melangkah pelan ke arahku.

Brukk ...

Suara sesuatu baru saja terjatuh, meski terdengar pelan namun. Suara tersebut mampu membuat detak jantung berhenti untuk beberapa detik.

Aaaaa ...

Mbak Nur langsung berteriak histeris sambil menutup kedua telinganya sambil berlari cepat ke arahku.

Bukan aku saja yang kaget mendengar suara teriakan keras yang berasal dari mbak Nur. Bahkan kedua sapi yang tadinya tengah makan dengan lahapnya sampai ikutan kaget.

Sampai-sampai kedua sapi milik lek Suhar tersebut berdiri serentak, kemudian berusaha melepaskan tali tambang yang yang tengah mengikatnya.

Dan aku sendiri tak kalah kagetnya saat itu, awalnya aku berpikir jika mbak Nur tengah kesurupan. Kedua tangan mbak Nur langsung memegang lengan kananku dengan kuat, kemudian ia berusaha sekuat tenaga menyeret diriku yang masih belum siap.

Alhasil betis dan kedua lututku mengalami kecil akibat ulah mbak nur saat itu. Jelas sekali saat itu ku ingat jika mbak Nur menyeretku seperti layaknya orang yang sedang kesurupan sambil berteriak-teriak ketakutan.

"Ono opo rek?" (Ada apa?) Terdengar suara seorang pria paruh baya datang dengan setengah berlari ke arah kami.

Suara pak Giman yang merupakan tetangga samping rumah lek Suhar tersebut, membuat kami berdua terdiam sejenak. Mbak mulai mengatur nafas yang tadinya sempat tersengal akibat rasa panik.

"Po-pocong pak," jawab mbak Nur terbata karena nafasnya belum teratur.

"Pocong? Pocong opo, iyo ta?" (Pocong? Poconga apa?) Pak Giman seolah tak percaya dengan jawaban mbak Nur, sambil kembali bertanya ke arahku yang masih duduk bersimpuh di tanah.

Sedangkan aku hanya mengangguk pelan meski tak tahu dengan penampakan pocong yang di lihat mbak Nur. Hanya saja hawa yang kurasakan tadi tiba-tiba saja terasa amat mencekam.

"Wes Ndang moleh, mangkane sorop-sorop Ojo dolan wae." (Sudah cepat pulang, makanya petang-petang jangan bermain saja.) Tutur pak Giman sambil berlalu memasuki rumahnya.

Beruntungnya saat itu ada pak Giman, jika tidak ada beliau entah sampai sejauh mana mbak Nur akan menyeretku saat itu.

Niatku yang tadinya pulang memberi pakan sapi sambil berganti baju langsung ku urungkan dengan adanya kejadian kala itu.

"Ayo, ngenteni opo maneh awakmu iku?" (Ayo, apa lagi yang kamu tunggu?) Bentak mbak Nur yang sudah berada di atas jok motor.

Sejenak aku termenung dengan suara lirih yang memanggil namaku dari dalam rumah lek Suhar. Dan yang kurasakan saat itu adalah, seperti ada sesuatu dalam diri yang mendorong atau lebih tepatnya memaksa agar diriku melangkahkan kaki menuju suara yang berasal dari dalam rumah lek Suhar.

Hari sudah gelap saat perjalanan ke rumah mbak Nur. Meski lampu penerangan jalan sudah berpijar, namun. Yang terlihat di mataku semua terasa gelap nan sunyi.

Motor yang kami kendarai melaju pelan menyusuri pekatnya kabut di kegelapan jalanan pedesaan. Saat itu juga semua terasa amat asing, meski beberapa kali bertemu dengan pengguna jalan lain yang kurasakan hanya kesunyian malam.

Apa lagi saat mbak Nur mulai bercerita tentang sosok pocong yang ia jumpai di rumah lek Suhar tadi. Suaranya terdengar pelan dan tak jelas sama sekali, padahal laju motor yang kami kendarai sangat pelan.

POCONG KEMBANG KLARASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang