part 2

998 104 13
                                    

Lek U'um segera menyalakan seluruh lampu ruangan. Sedangkan aku berdiri kaku bersandar pada dinding, merasakan sesak dalam dada mengingat apa yang tadi pagi kualami ketika berjumpa dengan Mbah Tun.

"Nduk! Awakmu Lapo?" (Nduk! Kamu ngapain?) Tanya lek U'um memandang heran ke arahku.

Ku gelengkan pelan agar lek U'um tak mengkhawatirkan keadaanku saat itu. Tapi, jujur saja bayangan mbok Tun yang sedang berjongkok di pinggir jalan dengan rambut putihnya yang tergerai terus terbayang dalam pikiranku.

Badan mulai gemetaran pelan, hawa dingin mulai kurasakan menjalari tubuhku secara perlahan. Beberapa kali lek U'um memanggil namaku namun, pendengaranku seolah tak berfungsi dengan semestinya saat itu.

Bayangan mbok Tun yang baru ku ketahui telah meninggal tiga hari yang lalu dari lek U'um masih terus terbayang.

Mengetahui aku yang sedang tidak baik-baik saja saat itu, lek U'um dengan segera mendekat kemudian memapahku untuk duduk di kursi ruang tamu.

Beberapa kali lek U'um mengusapkan minyak angin pada bagian tengkuk serta leherku saat itu. Sambil sesekali mendekap badanku serta berucap, "uwes, ra popo nduk!" (Sudah, tidak apa-apa nak!)

Hingga suara adzan magrib yang berkumandang telah usai, aku tatap tak ingin beranjak dari tempat duduk. Sampai-sampai lek U'um mengurungkan niatnya yang akan berangkat ke mushola.

"Tak gawekno teh anget yo Yen? Awakmu anyep nemen!" (Di buatin teh hangat yah Yen? Badan kamu dingin banget!) Ucap lek U'um pelan setelah memegang lengan dan perutku.

"Nggak usah lek," (tidak usah bi,) jawabku lirih sambil menggelengkan kepala pelan, karena tak ingin merepotkan bibiku dengan perutnya yang sudah membusung.

"Assalamualaikum ...!"

Suara dari depan rumah membuat kami berdua menoleh secara bersamaan ke arah pintu depan. Suara lek Suhar yang sudah pulang dari mencari pakan ternak kembali terdengar memanggil nama kami berdua karena aku dan lek U'um masih dalam posisi kami masing-masing.

"Aku ae lek seng mbukak." (Aku saja bi yang bukain.) Pintaku sambil menahan lengan lek U'um yang hendak berdiri dari posisi duduknya yang hendak membuka pintu rumah untuk suaminya.

Tak tega rasanya melihat kondisi lek U'um saat itu, beberapa kali ia terlihat lelah sambil memegangi perut besarnya.

"Kok suwe eram seh nduk, leren lapo?" (Kok lama sekali nduk, lagi ngapain?) Tanya lek Suhar ketika pintu rumah sudah kubuka.

Mulut serasa berat untuk menjawab pernyataan lek Suhar saat itu. Sosok lek Suhar berpawakan mirip sekali dengan bapakku, mulai dari tinggi badannya, wajah serta rambut ikalnya. Yang membedakan hanyalah kulit lek Suhar dan bapak berbeda, kulit bapak agak kuning kecoklatan, sedangkan lek Suhar bles hitam karena terpapar sinar matahari setiap harinya.

"Yen, wes adus gurung?" (Yen, sudah mandi belum?) Tanya Lek Suhar setelah memasuki rumah.

"Gurung lek," (belum lik,) jawabku pelan.

"Pantesan ambumu kecut! Ndang adus kono gantian." (Pantesan bau asam! Cepat mandi sana gantian.) Suruh lek Suhar sambil berjalan menghampiri lek U'um.

"Males, babahno masio kecut!" (Males, biarin meski bau asam!) Jawabku ketus sambil menutup pintu.

Di samping kamar mandi di rumah kami terpisah dari rumah utama, aku juga tidak mau terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan saat itu. Rasa trauma atas mbok Tun masih terus terbayang di ingatanku.

"Uwes babahno, sakno awak'e Yeni kudu ra penak!" (Sudah biarin, kasian badan Yeni agak kurang enak!) Cegah lek U'um yang menahan lek Suhar yang hendak memaksaku untuk lekas mandi.

POCONG KEMBANG KLARASWhere stories live. Discover now