Mengecap Sepi

21 3 0
                                    

Aku melihat mereka berdua di dalam bingkai foto tua, sepasang burung yang saling jatuh cinta. Jelas sekali malah, bahwa saat itu tiada yang mengalahkan perasaan kedua sejoli yang sedang di mabuk asmara itu. Tatapan mata yang tampak dari celah-celah daun nangka seolah bicara satu sama lain, "Kaulah segala-galanya." Kedua sejoli itu, Bapak dan Ibu. Sangat disayangkan, seandainya saat itu aku berada di sana, aku akan berlari menghampiri mereka dan meminta untuk mengakhiri semuanya. Dia hanya lelaki kesepian yang membutuhkan seseorang untuk rela hidup sia-sia dengannya. Dia hanyalah wanita dengan banyak kemauan namun tak ingin bergerak dari tumpuan kakinya. Hingga pada akhirnya, aku menjadi hidup.

Mengapa selalu ada tokoh yang kurang bahagia di dalam setiap cerita? Ingatan pertamaku tidak terlalu berkesan. Aku hanyalah seorang balita yang tidak sengaja membuka mata di atas ayunan kain bercorak bunga-bunga. Di hadapanku seorang kakek tua tersenyum sangat, sangat bahagia, mungkin. Seorang nenek tua dengan kepala terikat sarung sedang mengunyah sirih di bibir pintu, dan seorang yang lain adalah wanita dewasa yang kusebut bibi sedang menjemur biji cengkeh di halaman rumah. Anehnya, sepasang burung di awal cerita tidak ada di sana, sama sekali. Bukannya curiga, aku malah tidak tahu-menahu, bahkan tidak mau tahu mengenai apapun selain yang ada di sekelilingku.

Perkara pertama datang ketika aku mulai bertanya-tanya bagaimana menjalani hidup yang sewajarnya? Apakah harus terlihat seperti yang di buku-buku pelajaran sekolah dasar? Makanan empat sehat lima sempurna, bermain layang-layang dan membaca buku bersama teman, memiliki sepeda dengan bel berbunyi kring kring, atau berlibur ke rumah nenek berpagar anyaman bambu dengan bunga mawar dan melati di halaman depan. Beruntung semuanya itu tidak diharuskan, karena aku tidak memiliki bahkan salah satunya.

Hampir setiap hari aku hanya makan ikan hasil tangkapan kakek, tidak ada sayur, telur dan susu untuk melengkapi meja makan. Sesekali ada sayur kol dari pasar, tetapi sangat jarang. Sekalinya ada, pasti habisnya cepat. Aku bisa saja sesekali makan telur, itu pun kalau berhasil mencuri diam-diam tanpa sepengetahuan penghuni rumah lainnya. Tetapi aku jarang melakukannya, karena telur-telur itu sudah dihitung bahkan sebelum diperam. Aku hanya mengenal susu dari gambar-gambar di buku, aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya, tetapi pernah sekali waktu aku membayangkan makan roti dan minum susu putih langsung dari kotaknya, tetapi tetap saja aku tidak tahu rasanya. Akankah itu seperti buah? Atau mungkin kue kering? Aku sama sekali tidak punya gambaran mengenai itu. Beruntung ada nenek tua yang setiap sore memberikan air rebusan beras padaku. Warnanya putih seperti susu dan rasanya bisa asin atau manis. Kalau di rumah sudah kehabisan gula, biasanya aku hanya mencampur sejumput garam ke dalam cangkir plastik itu. Ya, bagaimanapun, aku tidak pernah berpikir kalau susu rasanya asin. Hingga suatu hari, kerbau peliharaan temanku melahirkan. Pernah sekali aku melihat temanku minum susu layaknya anak kerbau yang minum langsung dari induknya. Ide ini muncul di benakku. Ketika temanku itu buang air besar di dalam hutan, aku minum susu kerbau diam-diam dengan cara yang sama seperti yang dia lakukan, dan inilah yang kudapat. Susu itu rasanya hambar dan baunya aneh.

Di ingatanku tidak ada keceriaan saat bermain layang-layang. Musim berganti, tetapi perasaanku tetap sama. Angin dingin hanya numpang lewat menembus ruang kosong dalam jiwaku. Mungkin aku pernah bermain layang-layang, ya memang pernah. Tetapi karena seingatku hari itu tidak menyenangkan, jadi aku merasa tidak pernah melakukan itu. Dengan segala keterbatasan bahan, aku dan beberapa anak hanya mengikat plastik kresek hitam dengan bilah-bilah bambu. Kami bahkan tidak tahu cara menerbangkannya seperti yang terlihat di buku. Satu orang menahan tali yang terbuat dari kulit batang pisang, dua orang lagi menarik plastik berbentuk persegi di ujung sana. Dan, tidak ada yang terjadi. Satu-satunya jalan supaya kerja keras kami terbayar adalah menerbangkannya di tepi tebing. Syukur-syukur kalau ada angin, kalau tidak ya apa boleh buat.

Sesudah seusia ini, aku berpikir sejenak. Mengapa tak kutemukan ketertarikan terhadap buku saat aku masih kecil? Setiap kali aku melihat buku, aku hanya melihat sampulnya. Kalau gambarnya kartun, di situlah rasa ingin tahu muncul. Aku akan membukanya lembar per lembar dan terpana dengan gambar-gambar di dalamnya tanpa sedikit pun menoleh pada tulisan-tulisan yang jelas-jelas terpampang di sana. Sangat disayangkan bahwa anak sekecil itu benar-benar tidak ingin memahami isi buku. Setiap kali aku mengingat masa-masa itu, aku selalu merasa tidak beruntung. Coba saja sedari kecil aku benar-benar bisa membaca satu buku setiap minggunya, mungkin sudah banyak hal yang kuketahui. Bisa jadi aku mengetahui hal-hal yang terjadi di bagian dunia lain. Informasi-informasi itu akan membawaku ke tempat lain, bukan tempatku sekarang ini. Seandainya saat itu ada teman yang memberitahuku betapa pentingnya membaca buku untuk kelangsungan masa depan yang tanpa penyesalan.

Aku dan anak-anak tetangga serasa hidup di alam yang berbeda. Sepulang sekolah, aku dicekoki tumpukan nasi berbentuk gunung di atas piring dan sedikit lauk tanpa sayur. Tidak ada waktu untuk mencerna makanan itu selama lima belas menit seperti yang disarankan dokter. Kalau piringku sudah kosong, aku harus bergegas menyiapkan cangkul dan berangkat ke ladang. Sampai di sini, aktivitasku dan teman-temanku masih imbang. Tetapi perkara berikutnya timbul ketika pulang dari ladang, aku masih harus melakukan pekerjaan rumah, sementara anak-anak tetanggaku naik sepeda di lapangan. Dari dapur, aku sering sekali memandangi mereka dan menginginkan apa yang mereka punya. Tidak hanya sepeda, tetapi juga tawa yang terlihat di wajah mereka. Cerita ini nyata dan tidak dibuat-buat. Jangankan sepeda, membeli barang untuk keperluan sekolah saja sangat sulit. Apa yang dipakai teman-teman sekelasku sangat berbeda dengan yang kupakai. Di bagian ini, mungkin aku akan sedikit cengeng. Seragamku sangat, sangat tipis, sehingga harus sangat berhati-hati ketika mencucinya. Beruntung seragam itu bertahan hingga aku tamat SD, dengan beberapa senti bekas jahitan. Sepatuku tidak bermerk, hanya sepatu kain yang bentuknya seperti sepatu pemain Kungfu di tayangan Minggu pagi. Aku sering dihukum karena tidak pernah memakai tali pinggang. Penggarisku hanya sebilah triplek yang kupungut di kolong rumah. Pensilku entah apa merknya dan aku sama sekali tidak memiliki penghapus. Hanya sekali aku memiliki pensil 2B, pensil yang sangat ingin kumiliki ketika masih SD. Beruntung di Indonesia diberlakukan ujian nasional dan konon katanya tidak sembarang pensil bisa digunakan untuk mengisi lembar ujian. Sehingga mau tidak mau kepala sekolah membelikanku dua batang pensil 2B lengkap dengan penghapus dan penggaris. Aku ingat bahwa hari itu sangat berbeda dari hari-hari yang lain. Ketika anak-anak lain khawatir dengan ujian, maka aku sama sekali tidak begitu karena merasa sangat bahagia. Di usiaku yang semuda itu, aku sudah bisa menangis karena kebaikan orang lain.

Buku-buku pelajaran SD memang kurang universal. Kehidupan yang digambarkan dalam buku-buku itu hanya berlaku bagi orang-orang khusus, entahlah, yang pasti bukan sepertiku. Tidak ada yang namanya berlibur di rumah nenek. Tujuh belas tahun lamanya aku menjalani hidup di sana. Di rumah tanpa pagar dan tidak ada bunga. Hanya rumah tua dengan cat hijau tua yang mengelupas di berbagai sudut. Rumah dengan tangga di bagian depan, berbau pesing yang amat menyengat. Semua penghuni rumah buang air kecil sembarangan saat tengah malam. Ya, bisa dibilang tidak ada peradaban di rumah itu. Jika seseorang berkunjung, mungkin kesan pertamanya akan sangat buruk. Pemandangannya mungkin cukup rindang karena banyak pohon di sekitar rumah, tetapi lubang-lubang di bawah pohon itu akan mengeluarkan bau semerbak yang menyiksa hidung. Aku sudah bilang, tidak ada peradaban di rumah itu, orang-orang juga buang air besar sembarangan.

Apakah semuanya sampai di situ saja? Tentu saja tidak. Setelah aku keluar dari rumah itu, aku menjadi manusia yang teramat mandiri. Melakukan banyak hal benar-benar sendiri. Ada saat dimana aku sangat iri dengan orang lain yang mendaftarkan diri ke universitas dengan pendampingan orangtuanya. Sedang aku hanya berusaha tidak mempermasalahkan hal tersebut. Mencari tempat tinggal sendiri tanpa ada sepasang orangtua yang penasaran bagaimana situasi lingkungan kos yang ditempati anaknya. Sesekali aku bertemu mereka di hari libur. Tetapi kebanyakan hari libur kugunakan untuk melarikan diri atau mencari sesuatu ke hutan. Entah melarikan diri dari apa, atau mencari sesuatu yang seperti apa, aku juga tidak tahu. Terkadang di tengah hutan, aku menemukan jawaban-jawaban yang bahkan belum kupertanyakan. Aku tidak berpikir waktuku terbuang sia-sia, semuanya kulakukan sesadar-sadarnya. Berkelana ke berbagai tempat, tersesat, kehabisan uang, menumpangi sedan berisi sayuran di tengah jalan. Aku merasa bebas melakukan apapun yang kumau. Lagipula tidak ada hal yang membuatku terikat, tidak ada juga yang kurindukan.

Aku tidak pernah mempermasalahkan kesendirianku. Aku tidak mempermasalahkan mengapa dulu aku tidak punya ayah dan ibu. Aku tidak terkejut ketika pertama kali bertemu adik-adikku di dunia nyata. Dan fakta bahwa masing-masing adikku ternyata memiliki sepeda dan selalu makan dengan layak sama sekali tidak menumbuhkan perasaan tak enak dalam diriku. Tidak ada yang kupermasalahkan mengenai hidupku yang bisa dibilang kurang beruntung di masa lalu, tidak sama sekali. Bagaimanapun, aku lulus dari universitas berkat hasil keringat orangtua. Satu-satunya yang jadi masalah adalah aku sendiri. Mengapa aku bersikap seolah-olah aku menerima semuanya dengan lapang dada? Mengapa aku menjalani hidup seolah tidak pernah mengharapkan kehangatan kebersamaan keluarga? Mengapa aku semakin menjauh dari hal-hal yang ternyata diam-diam kuinginkan? Berapa lama lagi aku harus lari dan terus sembunyi? 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 08, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mengecap SepiWhere stories live. Discover now