Dua Tubuh Satu Harapan

616 36 143
                                    

Waktu adalah musuh.

Harus kuakui, hidup itu sangat tidak menyenangkan, dilahirkan, menua, dan mati. Belum lagi di antara ketiganya, aku mesti terus berlari, belajar gila prestasi, bekerja sampai hilang nurani, mengejar mimpi lupa cinta sejati. Aku pun selalu bertanya, untuk apa mengejar dunia kalau manusia tak bisa hidup abadi? Suatu keniscayaan naif yang membuatku awalnya tak dipedulikan, lalu ditertawakan, kemudian dilawan habis-habisan.

Pertaruhan ini dimulai sebulan lalu. Seorang petugas rumah sakit berjalan cepat ke arahku dengan sepucuk surat di tangannya. Seperti biasa, ia pun melambai dan tersenyum lalu duduk ramah di sebelahku. Akan tetapi kali ini, kutemukan kekecewaan di wajahnya.

"Maafkan aku, Bastian," katanya dalam logat Italia yang kental. "Pemerintah berniat menarik dukungannya dari kita. Aku khawatir kalau ...."

"Apa ini ulah para aktifis?" balasku, memotong ucapannya.

Sambil menarik napas, dia menatapku dalam-dalam. "Hasil keputusannya akan diumumkan besok di parlemen. Tapi ... masih ada harapan un—"

Aku segera berdiri. Tanpa menjawab, kulangkahkan kaki meninggalkannya. Tak ada waktu 'tuk berpamitan, sebab asaku putus bersama berita yang ia bawa. Mereka tak mengerti betapa ini semua sangatlah berarti bagiku.

Dikirim ke tempat ini, bukanlah semata-mata karena nama besar media yang mempekerjakanku. Aku bisa saja menjadi seorang dokter di negeri tempatku berasal. Namun, kuabaikan harapan kedua orang tua demi memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas lewat jurnalistik yang lebih kucintai.

Kata-kata dari petugas barusan telah meruntuhkan semangatku. Aku baru saja gagal dalam liputan eksklusif untuk operasi paling kontroversial dalam abad ini. Mungkin, aku akan kehilangan segalanya, karir, kepercayaan, harga diri. Pengorbananku terasa sia-sia, semua demi membuktikan sesuatu yang katanya hampir mustahil dilakukan.

Mereka menyebutnya HEAVEN (head anastomosis venture), sebuah program transplantasi kepala manusia pertama di dunia dengan menghubungkan sumsum tulang belakang pasien pada tubuh seorang donor. Kaum skeptis melabelinya "gila"; para aktivis HAM mengutuknya keras sebagai tindakan kejam dan tak manusiawi; aku hanya menganggapnya hard news demi Hadiah Pulitzer.

Aku benci melihat wajah-wajah itu, para jurnalis asing di lantai bawah yang terlihat semringah menantiku. Kusampaikan saja pada mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka kelihatan bersemangat, sebab kontroversi ini akan segera berakhir. Aku tak peduli lagi dengan semua omong kosong itu, beranjak keluar menuju selasar samping.

Berjalan lewat halaman depan harus selalu kuhindari. Para demonstran berwajah anarkis, mulai mengepung gedung ini. Mereka datang berduyun-duyun dari berbagai penjuru Kota Turin. Ada kubu yang mendukung, sedangkan sebagian menuntut agar pemerintah menggagalkan rencana operasi ini. Mereka dipisahkan oleh barikade polisi bersenjata lengkap. Kehebohan ini berlangsung selama seminggu, dan pagi ini merupakan puncaknya.

Beruntung, apartemenku hanya beberapa blok dari sini. Kulangkahkan kaki menyusuri lorong-lorong kota yang terhubung dengan deretan gedung berasitektur seni kontemporer. Bau roti panggang menyatu aroma kopi di setiap jalur yang kulalui. Biasanya, orang-orang duduk santai menikmati suasana kota tua yang penuh dengan sejarah. Namun, hari ini hanya tersisa bangku-bangku kosong yang sepi pengunjung.

Aku pun teringat akan obrolan terakhirku bersama dr. Sergio da Vinci di sebuah cafe kecil di sekitar lorong ini. Beliau seorang ahli bedah saraf yang sudah mendedikasikan penelitiannya selama lebih 30 tahun demi program ini.

Beberapa tahun lalu, media kami dihebohkan oleh konglomerat yang nekat mendanai proyek rekayasa tubuh buatan untuk manusia (avatar) dengan tujuan keabadian sibernetika. Masalahnya, apakah otak manusia yang ditransformasikan menjadi bentuk apa pun yang diinginkan itu akan tetap menua atau tidak?

Dua Tubuh Satu HarapanWhere stories live. Discover now