"Iya, Mas.. sebentar" sahutku dari dalam kamar.

Bila merengek minta ikut terpaksa aku mengajaknya. Aku, Bila dan Doni jalan berdampingan. Ku lihat pria itu duduk di bangku warung. Kami mendekatinya.

"Pak, ini orangnya" Pria itu menatapku dan Bila.

"Apanya yang rusak, Pak?" tanya Doni.

Pria itu tersadar dari lamunannya, "Oh, ini bannya bocor jadi hanya menggantinya saja. Ban cadangannya ada di dalam. Pria itu mendekati mobilnya dan kami mengekor di belakangnya.

Doni sedang mengerjakan tugasnya mengantikan bannya. Pria itu jongkok disamping Doni memperhatikan. Aku dan Bila duduk ditembok pembatas jalan. Kami sudah seperti anak hilang. Dinginnya udara malam sampai menusuk kulit. Untung saja Bila pakai sweater.

"Mereka istri dan anak bapak?" tanya Pria itu kepada Doni sambil melirik Bila. Dari tempatku aku bisa mendengarnya samar.

Doni melihat lirikan pria itu lalu tertawa, "Inginnya sih begitu, Pak. Tapi sayangnya bukan" jawab Doni sambil memasang ban.

Pria itu menaikan sebelah alisnya, "Oh, maaf saya kira itu istri bapak" Pria itu merasa tidak enak.

"Kontrakan kami bersebelahan, Pak. Ibunya Bila orangnya baik sekali, Shaliha lagi. Siapa yang tidak mau punya istri sepertinya." terang Doni. "Selama saya tinggal di sana saya belum pernah lihat suaminya. Ada yang bilang di tinggal suaminya dan ada juga yang bilang kalau Dea janda. Saya tidak mau terlalu jauh menanyakannya takut tersinggung" Aku menunduk nyeri. Dari kejauhan aku bisa mendengar obrolan mereka. Jalan sepi hanya ada sesekali mobil yang lewat. Pria itu mengangguk samar. Ya, aku sering di anggap seperti itu.

"Bila, kok belum tidur?" tanyaku lembut.

"Bila tidak bisa tidur, Bunda" Bila mendekati pria itu, jongkok disebelahnya. Bila, anak yang sangat ingin tau.

"Om, itu apanya yang lusak?" tanya bila menunjuk ban.

"Itu bannya bocor" jawab pria itu. Bila ber-oh ria. Bila menanyakan lagi dan lagi. Pria itu hampir tak bisa menjawab dengan pertanyaan Bila. Aku tersenyum geli melihatnya.

Bila berdiri memukul pelan lututnya. "Kaki Bila pegel"

"Sini om pangku" ujar pria itu sambil menepuk pahanya.

"Boleh?" tanya Bila dengan tersenyum.

"Tentu" Bila langsung duduk dipangkuannya

"Bila!" Tegurku, aku menghampirinya. "Bila duduk sama bunda saja disana ya" ajakku sambil tangan menunjuk pinggiran jalan. Bila menggeleng tidak mau. "Maaf, Pak. Bila biar duduk sama saja." ucapku pada pria itu. Bila kekeh tidak mau. "Bila, itu tidak sopan!"

"Tidak apa-apa, mungkin ia lelah" ujar pria itu menengahi.

"Sudah biarkan saja, De. Selama bapaknya juga tidak keberatan, iya kan pak" sela Doni.

"Iya, tidak apa-apa" jawabnya datar.

Aku duduk dipinggiran jalan lagi, ku lihat jam tanganku. Sudah jam sepuluh lewat. Bila tertidur dipangkuan pria itu. Doni sudah selesai memasangkan ban baru. Ia merapihkan peralatannya. Pria itu berdiri sambil menggendong Bila yang tertidur.

Aku tidak enak melihatnya, "Maaf ya Pak, Bila merepotkan." Aku mengambil alih Bila dari gendongannya. Jaraknya denganku dekat sekali sampai ku bisa mencium harum parfumnya. "Astagfirullah" keluhku dalam hati. hampir saja aku terlena.

Pria itu mengeluarkan dompetnya, diambilnya uang seratus ribuan 2 lembar diberikannya kepada Doni.

"Wah, ini terlalu banyak" Doni memulangkan selembar.

"Tidak usah, Pak. Saya yang seharusnya berterimakasih karena bapak mau membantu saya, padahal bapak sedang istirahat di rumah." ujarnya. Ia malah mengeluarkan beberapa lembar lagi, diulurkannya kepadaku.

"Ini apa, Pak" tanyaku bingung.

"Ini ucapan terimakasih saya karena sudah memanggilkan montir"

Aku tersenyum tipis, "Tidak perlu, Pak. Niat saya hanya menolong."

"Ini buat anakmu untuk jajan." Paksa pria itu dengan alasannya.

Aku menggeleng, "Tidak, Pak. Terimakasih" ucapku lembut agar ia tidak memaksa lagi. Aku alihkan pandanganku, "Mas Doni, kita pulang"

"Assalamua'laikum, Pak" salamku sopan.

"Wa'alaikumsalam" jawabnya bergumam, ditangannya masih memegang uang. "Terimakasih"

Aku menggendong Bila yang sedang tidur, Doni disebelahku berjaga jarak.

"Kenapa tidak diambil, De. Itu rezeki buat Bila" tanya Doni di sela-sela kami berjalan.

"Tidak, Mas. Niatan saya kan hanya menolong."

"Uang ini kita bagi dua saja ya" Doni menyodorkan uangnya.

"Tidak, Mas. Terimakasih. Itu rezekinya mas Doni" tolakku.

"Ini bukan rezekiku sendiri, De. Kalau bukan lewat kamu mana mungkin mas dapat rezeki sebanyak ini, malam-malam lagi"

Aku terkekeh, "Alhamdulillah ya, Mas." Doni adalah tetanggaku yang baik. Dia sudah ku anggap sebagai kakak. Ia belum menikah, umurnya kira-kira 28 tahun.

TBC

Cerita Hati (GOOGLE PLAY BOOK)Where stories live. Discover now