(Y/N) tak menyahut, hanya mengangguk, kedua matanya terpaku ke wajah mungil laki-laki itu. Begitu tim medis selesai membuat tandu, gadis itu langsung dibawa ke tempat yang berbeda dari Giyu dan Shinobu.

***

Bulan-bulan berikutnya berlalu seperti gambaran samar-samar bagi Giyu. Tak ada surat atau setidaknya kabar tentang perempuan itu. Bahkan Oyakata-sama tidak pernah mau membahasnya. Ada dua kemungkinan; Oyakata-sama memang tidak tahu, atau gadis itu sudah mati. Giyu bersumpah lebih memilih tidak akan pernah mendengar kabar tentangnya sama sekali jika yang benar adalah yang kedua.

Saat ini, di ruang pertemuan, satu-satunya orang yang belum bicara sejak awal adalah Giyu. Banyak informasi yang belum terkuak tentang hari itu— Shinobu hanya mengingat sebagian karena waktu itu dia ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri.

"(L/N)-san pasti baik-baik saja, Tomioka-san! D-Dia itu seorang pejuang yang kuat, makanya aku yakin (L/N)-san pasti baik-baik saja!" Sahut Mitsuri, berusaha menenangkan Giyu yang tampak lesu bagai tak bernyawa. Meski demikian, ekspresi mukanya tak bisa berbohong kalau dia juga sangat mencemaskan (Y/N), sama halnya dengan yang lainnya.

"Kenapa kau bilang begitu padaku, Kanroji-san?" Balas Giyu, sedingin biasanya.

"I-Itu karena Tomioka-san menyukai--"

Obanai dengan cepat menutup mulut kekasihnya yang ember itu, memutar bola mata. "Karena kau terlihat seolah-olah sedang menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi kepadanya."

"Itu benar! Dasar lemah!" Gerutu Sanemi dari kursinya, menuding pada Giyu. "Ditambah lagi karena kau cinta pada anak itu, kan?!"

"Shinazugawa-san!" Erang semua orang yang berada di ruangan itu secara serentak.

"Apa? Memang benar, kan?!"

Giyu tak berkata apa-apa. Dadanya terasa seperti terkoyak-koyak jika membayangkan sosok yang sangat dia puja-puja itu.

***

Sudah satu bulan berlalu sejak pertemuan terakhir para pilar, tak terasa besok mereka semua sudah harus berkumpul lagi saja. Dengan tak bersemangat, laki-laki itu mendesah frustasi.

Menyandarkan punggungnya ke pohon, dan memejamkan mata. "Kita masih belum saling bicara, (L/N)-san."

"Kalau begitu, bicaralah." Sahut sebuah suara— Suara yang selama ini begitu ingin dia dengar lagi.

Tidak mungkin! Kalau aku hanya sedang berhalusinasi karena terlalu banyak memikirkannya, ini terlalu nyata, pikir Giyu sambil menggeleng.

"Tomioka-san?" Suara itu berbicara lagi.

"Tidak lucu. Ini tidak lucu, (L/N)-san."

"Memang apanya yang lucu? Aku tidak sedang bercanda, tuh?"

Kali ini Giyu memberanikan diri membuka mata, kemudian terkejut setengah mati melihat (Y/N) sedang berdiri di hadapannya, menatapnya.

"(L/N)-san?"

"Iya, ini aku, bodoh. Kau sudah lupa?" Gadis itu tertawa. "Padahal baru beberapa bulan, tapi kau sudah melupakanku—"

Giyu menyambar, merengkuh tubuhnya dengan erat. Setiap kali (Y/N) ingin mengatakan sesuatu— yang jelas ingin memakinya— laki-laki itu semakin menguatkan pelukannya.

"Ke mana saja kau selama ini? Kupikir kau sudah mati, bodoh!" Bual Giyu, masih belum menarik diri.

(Y/N) menyerah, menyandarkan dagunya di pundak Giyu, membalas pelukannya. "Racun iblis itu terlalu kuat. Aku koma selama satu minggu, nyaris mati."

"Kenapa tidak mengirim surat?"

"Jadi kau mencemaskanku, nih?"

Biasanya, Giyu akan mengelak dan balik menggerutu dengan kasar, atau sekedar memberi tatapan dingin. Tapi kali ini, Giyu tersenyum tulus dan mengiyakan, bahkan itu membuat dirinya sendiri terkejut.

"Tentu saja, bodoh." Ucapnya, lirih. Agak meragu sesaat, Giyu memantapkan diri dan berkata, "Mana mungkin aku bisa tenang saja kalau orang yang kusukai terluka, direnggut dariku, dan menghilang begitu saja.."

"E-Eh? Tomioka-san, kau.."

"Kita belum bicara hari itu, bukan?"

"Baik, lalu?"

"Yang ingin kusampaikan hari itu padamu, (L/N)-san, adalah.." Giyu berjuang menahan dirinya saat mata mereka bertemu. "Aku menyukaimu."

"Oh.. baik?" Meski ekspresinya datar, Giyu bisa melihat kedua pipi gadis itu memerah.

"Bukan sekedar seperti yang kau pikirkan."

(Y/N) terdiam sejenak, lalu terbelalak. "Eh?"

"Perasaanku padamu itu," Giyu menelan ludah sejenak, mengenyahkan rasa malunya— kalau tidak mengatakannya sekarang, Giyu takut akan menyesal lagi di kemudian hari. "Cinta. Aku jatuh cinta padamu."

Mendengar pengakuannya, (Y/N) menitikkan air mata. Kelegaan, sedih, marah— kepada dirinya sendiri karena telah salah paham terhadapnya— semua bercampur aduk.

"Kalau boleh jujur.. Aku juga."

Giyu menyeringai. "Juga apa?"

"S-Su.."

"Su?" Giyu terkekeh.

Seperti biasanya, jika sudah menyangkut perasaan, (Y/N) mendadak berubah menjadi sosok yang pemalu dan— bagi Giyu— imut.

"Suka."

"Suka?"

"Iya. Padamu, d-dasar Tomioka-san bodoh."

Jantung Giyu berdebar kencang mendengarnya. Meski sekarang ekspresi mereka sama-sama terlihat dingin merespon ucapan satu sama lain, jauh di lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka sangat bahagia.

Sebagai tanda kalau dirinya telah mengerti, Giyu mengangguk, kemudian mengambil selangkah maju mendekatinya.

"Apa boleh aku menciummu, (L/N)-san?"

"T-Terserah kau saja."

"Baik—" Ketika wajah Giyu semakin dekat, (Y/N) menarik diri.

"Ta-Tapi aku belum pernah ciuman sebelumnya! Jadi.. Ini akan menjadi ciuman paling payah untukmu."

"Aku juga belum pernah."

"Jadi?"

"Jadi apa? Aku ingin mencium anda sekarang juga, nona."

"U-Uh.. Kau.. B-Bodoh--"

Bibir mereka saling temu. Sensasi menggelitik di perut itu, akhirnya mereka sama-sama merasakannya. Meski agak kaku karena baru pertama kali, tetapi mereka menikmatinya. 

"Aku ingin kau berjanji, (L/N)-san." Bisik Giyu saat mereka sama-sama menarik diri untuk sebuah tarikan napas.

"Apa?"

"Kau tidak akan meninggalkanku lagi. Berjanjilah."

(Y/N) tertawa ringan. "Aku ini sebenarnya lebih kuat darimu, Tomioka-san~"

"Masa bodoh. Aku tahu itu." Setelah berhasil menaklukan iblis bulan atas, tentu saja. "Jadi?"

"Aku berjanji."

KNY x ReaderWhere stories live. Discover now