16 Hak untuk Hijrah

Start from the beginning
                                    

Perlahan Kamala undur diri dari ruangan. Dia menaiki rooftop. Satu-satunya tempat yang dinilainya paling aman di kantor. Tempat di mana dia tidak perlu berinteraksi dengan orang lain dan bisa merenung sepuas hati.

Suasana rooftop yang cukup panas tidak menyurutkan Kamala untuk berdiam diri di sana. Dia memilih satu tempat cukup teduh yang letaknya tepat di samping blower. Wanita itu lantas membuka kotak bekal dan mulai menyantap ayam goreng yang sudah dingin.

"Sebentar lagi," ujarnya pada diri sendiri. "Setelah Syaron final selesai, kamu bisa pulang, Kam."

Pandangannya terpekur. Embusan angin membawa udara panas yang membuat kulit wajahnya tersengat. Dulu Kamala selalu merasa gerah. Beberapa kali dia pasti mengeluh jika hawa panas itu menerjang kulitnya.

Namun, sekarang berbeda. Tubuh Kamala sudah tertutup rapat. Kerudung yang dikenakannya juga membuat kepalanya terlindung dari terik panas. 

Anehnya, Kamala tidak merasa gerah. Seluruh ketakutannya hilang sudah saat pertama kali mencoba memakai hijab. Justru perasaan damai yang menenangkan tidak henti menyelimutinya.

Dan Kamala suka itu.

Tangannya meraba kain halus yang membungkus kepala. Sekarang aktivitas Kamala berubah. Dia tidak lagi hanya sekadar makan siang sambil melamun, atau makan siang sambil membaca buku-buku favorit.

Kamala kini punya rutinitas baru yang membuatnya senang. Kali ini wanita itu membawa papan tablet dan mulai membaca fikih wanita, satu buku digital yang dibelinya dari salah satu situs web penerbit besar Indonesia.

Tengah asyik membaca, Kamala nyaris meloncat dari duduknya karena kaget. Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Seraut wajah oval dengan senyum lebar terlihat tengah menatap ke arahnya.

"Sarah?" pekik Kamala terkejut.

Perempuan itu tertawa kecil. Tanpa menunggu dipersilakan, dia duduk tepat di sebelah Kamala. Tidak ada jarak di antara mereka sebab Sarah juga tengah mencari tempat berteduh.

"Benar kata Mas Dion. Mbak Kama memang suka menyepi di atap." Perempuan muda itu cekikikan. Dia melirik ke arah wanita yang masih terlihat syok di sampingnya. Wajah ramah Sarah kontradiktif dengan ekspresi Kamala yang gado-gado tidak karuan.

"Kok, bisa ada di sini?" Kamala bertanya tergagap-gagap.

"Terbang, Mbak," kekeh Sarah keras.

Saat melihat Kamala terus berdiam diri, perempuan itu akhirnya berkata.

"Aku nekat naik. Toh, gedungnya nggak diprivat. Lift bisa bebas dinaiki siapa aja. Jadi, yah. Iseng aja nyari Mbak Kama di sini. Ternyata ketemu."

Keheningan memekakkan terjadi. Kamala kembali menundukkan pandangan. Dia salah tingkah, tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Anehnya Kamala tidak merasakan ketidaknyamanan. Justru sebaliknya, Sarah yang ada di sisinya malah memberikan kehangatan yang tidak pernah diketahui Kamala bisa muncul dari dirinya.

"Mas Dion udah balik ke Malang, Mbak." Sarah melaporkan.

Kamala hanya mengangguk singkat. Dia kembali terdiam. Wanita itu bisa merasakan tatapan penasaran Sarah tertuju padanya.

"Aku nggak nyangka Mbak Kama akhirnya berhijab. Alhamdulillah."

Kamala mendongak. Dia tidak salah dengar. Suara Sarah penuh rasa syukur yang tulus. Tidak ada kepura-puraan pada diri perempuan itu.

Kamala mendadak disengat keharuan. Matanya berkaca-kaca. Susah payah wanita itu mencoba menahan diri agar tidak menangis. Sikap Sarah membuatnya sangat diterima.

Blasio NoteWhere stories live. Discover now