Esok paginya, Eira bangun saat fajar sudah tinggi dipermukaan. Dia mendorong dirinya untuk bangkit, Osric sudah tidak ada di sampingnya. Matanya kemudian menoleh ke perapian, namun dia juga tidak menemukannya di sana. Beranjak menuju luar, Nero yang melihat Eira langsung melompat-lompat seolah minta untuk diberi makan.

Sambil tertawa, Eira menggeleng. "Kau tahu, kau bisa mencari makan sendiri bahkan sebelum kita bertemu. Aku terlalu memanjakanmu, ya," ujarnya. Namun dia mengambil peralatannya untuk berburu tupai akar.

Pada jam-jam segini, berburu tupai akar akan sedikit susah. Karena mereka biasanya akan muncul pada tengah hari untuk mencari makan, Begitu juga pada malam hari, tupai akar justru akan sangat mudah dicari. Mereka memiliki penglihaatan malam yang cukup bagus dan demi menghindari predator siang hari, mereka akan lebih sering mencari makan saat malam.

Namun, dengan keberuntungan yang hampir tidak Eira duga—terlebih saat cincin Andvaranaut masih menghiasi jarinya—dia berhasil menemukan dua ekor tupai akar yang sedang mencari makan di atas pohon. Keduanya tengah mengumpat dibalik ranting sambil mengumpulkan biji-bijian. Eira harus memanjat dengan hati-hati sebelum kedua tupai itu menyadari kehadirannya. Jika saja dia pintar dalam memanah, hal itu tidak akan lebih sulit. Namun, busur dan panah bukan senjata pilihannya, sedangkan tebasan pedangnya lebih baik dari pada bidikan panah yang pernah dia lakukan.

Setelah berhasil menangkap buruannya, Eira kembali ke pondok. Di sana, seseorang tengah menunggunya. Lelaki itu tengah berdiri sambil mengelus Nero yang mulai kegirangan saat melihat Eira kembali membawa dua ekor tupai akar untuknya, sedangkan piaraannya Phoenix, ikut bangkit seolah Eira juga membawa makanan untuknya.

Menoleh, Elias memberikan senyuman tipis sekilas. Pertemuan terakhir mereka memang tidak begitu mengenakan dan Eira tidak ingin lelaki itu menceramahi dirinya lagi. "Apa yang kau inginkan, Elias?" gerutunya.

"Aku minta maaf, hanya itu yang ingin kukatakan." Dari nada bicara lelaki itu, Eira tahu betul bahwa Elias bersungguh-sungguh.

Eira masih berdiri di tempatnya, tidak mengira kalimat itu yang akan terlontar dari Elias. Namun, dia juga merasa bahwa dirinya salah, terlebih saat dia mengatakan ucapan buruknya pada lelaki itu. Walau bagaimana pun, Elias telah menjaganya, memberinya makan, dan mengurusnya. Tidak sepantasnya Eira menghakimi seseorang yang telah berbuat baik padanya hampir separuh hidupnya. Dia adalah sosok terdekat yang bisa Eira katakana sebagai keluarga.

"Maafkan aku juga," balasnya. "Lagipula, aku juga butuh pelukan saat ini."

Elias tersenyum, dia kemudian mengahampiri Eira dan memeluknya erat. "Hari ini pemakamannya," ujar Elias kemudian. "Kau tidak perlu datang, jika kau tidak ingin."

"Aku tidak yakin sanggup, Elias." Mengingat semua hal itu, membuat Eira kembali pada memori yang tidak bisa dia raih. Setelah ingatan indahnya mengenai Castro di ambil darinya, yang dia rasakan hanyalah kepedihan yang bagai tiada akhir. Seolah dia mengenal lelaki itu seumur hidup, namun tidak pernah bertemu dengannya.

Jika dia harus menyaksikan kepergian terakhir Castro, rasanya dia tidak akan sanggup untuk tidak menahan air matanya kembali, serta rasa sakit yang tidak berujung. Seperti pada saat gatal melanda kulitmu, namun seberapa keras kalian menggarukknya, gatal itu tidak hilang karena tidak yakin berada di mana.

"Aku mengerti," balas Elias. "Kalau begitu aku harus pergi." Sebelum pergi, lelaki itu mencium puncak kepala Eira sekali dan mengelus pipinya lebut. Dia kemudian pergi dan menghilang di langit.

Sebuah tarikan napas panjang muncul setelah Elias pergi, seolah Eira tidak sanggup untuk bernapas sejak tadi. Dia kembali masuk ke pondok setelahnya, sambil termenung untuk beberapa saat. Tidak yakin pada pilihannya sendiri, bahkan Eira tidak yakin pada dirinya sendiri lagi. Semua pilihannya seolah tidak ada yang berjalan dengan baik.

Pandangannya yang tengah berpikir, kini melirik pada jarinya yang berhias cincin Andvaranaut. Sambil memainkan cincin itu dengan jari-jarinya, Eira mencoba untuk menariknya. Anehnya, perlahan cincin itu mulai terlepas, hingga di ujung jarinya dan terbebas, dia meletakkan cincin itu di atas meja dengan perasaan lega yang tidak bisa dia dapatkan belakangan ini. Setidaknya, satu masalah telah selesai, pikirnya.

Namun, tidak ada yang bisa menghilangkan rasa bersalahnya pada apa yang telah terjadi. Rasa kecemasaan dan penyangkalan muncul kembali, membuat Eira merasakan gejolak penuh emosi. Menghempaskan barang-barang di atas meja, dia tidak sanggup untuk kenyataan pahit itu kembali. Hingga akhirnya dia berlari menuju hutan, kembali pada danau di mana dia hampir kehilangan nyawanya lagi, walau hal itu bukah lah sebuah kesengajaan.

Pantulan dirinya mengingatkan satu-satunya orang yang ia benci saat ini, yaitu dirinya sendiri. Kemudian, matanya menangkap jalinan kepang rambut yang berantakan. Tanpa pikir panjang, Eira menarik belati pemberian Castro dari pinggangnya, menggenggam rambutnya erat-erat dan memotongnya dengan cepat. Dia kembali melihat pantulan dirinya lagi di genangan air danau, kini dengan rambut cokelat sebahu.

"Jika kau ingin melupakan, buang jauh masa lalumu, dan jangan menoleh ke belakang. Setidaknya, untuk satu kali lagi," katanya sambil berniat untuk melihat Castro terakhir kalinya.

Dengan persiapan terburu-buru, Eira dengan cepat meminta Nero membawanya menuju Troan. Sesampainya di sana, upacara pemakanan sedang berlangsung. Seperti para dwarf kebanyakan, upacara pemakaman diadakan di bukit dengan seorang peniup trompet memberikan aba-aba sebelum jasad mereka di bakar dengan sebuah api yang ditembakkan dengan anak panah.

Dari kejauhan Eira menyaksikan, dia tidak melihat raja Castor di sana. Mungkin, sama seperti dirinya, kepergian sang Putra terlalu berat untuk dia saksikan. Tanpa menunggu upacara itu selesai, Eira memutuskan untuk pergi menuju istana Troan. Penjagaan di sana tidak akan terlalu ketat karena hampir semua prajurit ditugaskan untuk berada di upacara pemakaman. Kunjungannya ke istana hanya untuk mengingat pertemuan tidak sengajanya di sana, tidak lebih. Sebelum dia benar-benar meninggalkan ingatakan yang hampir tidak ada untuknya.

Melewati ruang tahta, menuju ruang harta, dia berniat untuk pergi setelah berdiri cukup lama di depan pintu. "Jika saja kau tidak bertemu denganku, hidupmu akan jauh lebih baik," katanya penuh penyesalan.

Tidak mau berlama-lama, Eira melangkahkan kakinya untuk beranjak. Namun, tepat saat dia melewati sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka, suara itu membuatnya untuk masuk dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Di depan balkon, di balik tirai yang tertiup angin perlahan, Castro tengah berdiri membelakanginya. Eira yakin itu adalah lelaki yang dia tangisi belakangan ini, dan begitu lelaki itu berbalik, betapa rasa kelegaan menyeruak tanpa henti.

"Semua ini salahku," ujar Castro.

Eira baru saja ingin menghampiri lelaki itu, dia sangat ingin berlari padanya, memeluk dan tidak akan pernah melepaskannya. Namun, langkahnya terhenti saat seorang perempuan mendekati Castro dan menangkup wajahnya. "Ini semua bukan salahmu, kau tidak berhak menghakimi dirimu karena hal yang tidak kau lakukan." Suara wanita itu begitu lembut, selembut sutra yang ditenun dengan begitu hati-hati.

Perempuan itu kemudian memeluk Castro, berusaha menenangkannya dari rasa bersalah yang sama dengan Eira. Hingga dari sana, Eira tersadar, bahwa memang seperti itu jalannya. Castro lebih baik tanpa dirinya, dia layak mendapatkan siapa pun selain dirinya. Hanya rasa sakit yang bisa Eira berikan jika dia melangkah untuk menemui lelaki itu. Sedangkan dirinya tengah berusaha untuk melupakan rasa sakit itu, justru yang datang adalah sebaliknya. Sebuah ingatan yang tidak akan bisa dia hapus selama hal itu berdiri di depannya.

Perlahan, Eira meninggalkan ruangan itu, meninggalkan istana Troan, dan seperti terakhir kali dia pergi dari sebuah istana, dirinya tidak berniat untuk kembali lagi. Hanya untuk kabur dari rasa sakit dan bersalah atas apa yang telah terjadi, bukan untuk melupakan, melainkan untuk melanjutkan hidup, lagi.

Kini, ingatannya menuju pada Elias, lelaki itu sudah pasti tahu mengenai hal ini. Namun, dia merahasiakannya dari Eira. Dia tahu betul bagaimana Elias akan menyembunyikan kenyataan itu dengan dalih untuk kebaikan Eira semata. Sebuah kebohongan akan lebih menyakitkan saat kalian mengetahui kebenerannya tanpa disengaja.

Dengan emosi yang tumpah ruah, Eira pergi menuju istana Failos. Menantikan kepulangan sang Raja yang telah membohonginya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Eira And The Last HumanWhere stories live. Discover now