CHAPTER 4

611 192 9
                                    

Nimue, Osric, dan Kramor telah sampai di Aeri. Perjalan mereka yang memakan waktu seharian membuat ketiganya lelah, termasuk Nero yang akhirnya ambruk dan tertidur tidak lama setelahnya. Kramor yang tidak mau membuang-buang waktu, cepat-cepat mengambil perlengkapannya untuk segera pergi. Dia bahkan tidak mau repot-repot untuk beristirahat.

"Kau mau ke mana, Kramor?" Osric yang baru duduk untuk meregangkan kakinya langsung bangkit saat melihat lelaki itu tengah bersiap.

"Pergi dari sini, apa lagi?" jawabnya. Ada sedikit nada kekhawatiran darinya.

"Ke mana?" tanya Osric lagi.

"Troan, tempat itu satu-satunya yang terjauh dari Dark Alpen." Sambil mengikat buntalannya, Kramor sudah siap untuk pergi.

"Tunggu!" Dengan cepat Osric menghalangi lelaki itu. "Kau tidak bisa pergi begitu saja, lagipula cepat atau lambat kita tidak akan aman di mana pun."

Kramor menggapai pundak Osric—yang terlalu tinggi baginya—sambil menatap lelaki itu lekat-lekat. "Setidaknya aku masih memiliki waktu untuk bersenang-senang di sana." Dia kemudian mendorong Osric untuk membuka jalan.

"Jadi itu yang kau pikirkan? Bersenang-senang?" suara Osric meninggi, dia kesal dengan sikap tidak peduli Kramor.

"Ya! Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Pedang Gram tidak berguna untuk membunuh iblis jika Excalibur tidak ditarik dari batunya. Sedangkan menemukan manusia sangat mustahil."

"Setidaknya kita—"

Belum sempat Osric melontarkan kalimatnya lagi, Nimue memotongnya. "Dia benar, Osric! Tidak ada yang bisa kita perbuat. Biarkan dia pergi," katanya.

Dengan tatapan tidak percaya, Osric mendengkus. Mendengar kalimat Kramor mungkin tidak mengejutkan, tapi mendengar Nimue menyetujuinya sangat tidak bisa dipercaya. "Jadi, itu saja? Kita tidak melakukan apa-apa dan menunggu kematian sampai para iblis menguasai semua Kontinen?"

Nimue menunduk, seolah dia merasa bersalah. "Maafkan aku, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan lagi."

Kramor menatap kedua orang itu sekilas untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia melangkahkan kaki menjauh untuk pergi menuju Troan. Osric yang agak kesal mengoceh tidak jelas pada pepohonan di depannya. Sedangkan Nimue, untuk pertama kalinya dia merindukan Aeri. Dulu, mungkin dia akan berpikir sangat mustahil merindukan tempat itu, bahkan kegiatannya yang hanya menanam, merawat hewan-hewan, serta mengajari beberapa anak-anak mengenai betapa pentingnya tinggal di sana dan menjaga kelestariannya dianggap sangat menyenangkan. Hingga dia mendatkan mimpi untuk mencari Eira bersamaan dengan kabar mengenai kemunculan Excalibur

Melirik Nero, dia tidak bisa meninggalkan hewan itu sendirian. Walaupun wilayah Aeri cukup aman dari para bandit-bandit, Nimue harus tetap memastikan hewan itu kembali pada Eira dengan selamat. "Osric, kau tunggu di sini sampai Nero bangun dari tidur dan antarkan dia kembali pada Eira," ujarnya yang lebih terdengar seperti perintah ketimbang permintaan.

"Dan kau?" tanya Osric, matanya mengisyaratkan keingintahuan. Namun tidak ingin menantikan jawaban yang tidak diharapkannya.

"Aku harus kembali ke keluargaku," jawab Nimue pelan. Dia menunduk, menghindari kontak mata dengan Osric.

"Jadi, di sini akhirnya kita berpisah." Suara Osric cukup jelas, namun nada bicaranya terdengar lirih.

Nimue tidak menjawabnya. Dia sangat tahu bahwa hidupnya jauh lebih berwarna saat dia pergi dari Aeri dan berpetualang bersama dengan teman-teman barunya itu. Namun, setiap langkah baru yang diambilnya, membutuhkan keberanian yang cukup besar. Saat dia memutuskan untuk menemui Eira, pilihannya sudah bulat dan Nimue tidak takut pada apa yang akan dia hadapi saat itu. Namun, yang tidak ia ketahui bahwa ada nyawa yang bisa direnggut dari setiap pilihannya. Dia telah menyaksikan dua orang meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri. Bukan karena sakit ataupun umur yang telah mencapai ribuan tahun hingga mereka menua, melainkan karena direnggut secara biadab tanpa belas kasih.

Eira And The Last HumanWhere stories live. Discover now