40 | Arti

208 9 0
                                    

"Shar, kamu masih bisa berubah." Tangan tremor Adel bergerak ingin menyentuh pipi Ashar. "Kalo kamu nyerahin diri ke polisi dan berusaha buat berhenti sama seks dan minum alkohol, bisa aja semua bakal membaik."

Bola mata Adel bergetar.

"Bisa aja … kamu bakal ketemu cewek baik-baik yang nerima kamu dengan semua masa lalu buruk ini."

"Jangan bujuk aku." Ashar menoleh cepat, membuat tangan Adel menggantung tanpa pegangan.

"Itu udah nggak mungkin terjadi. Ini udah terlalu jauh." Dia bangkit, refleks buat Adel mengikutinya.

Dua tangan Ashar terkepal.

"Enggak, Shar. Kita bisa coba. Aku … aku bakal ada buat kamu. Walau butuh waktu lama, kalo kamu beneran mau perbaiki semuanya, aku mungkin bisa lupain apa yang kamu lakuin sebelumnya, dan kita bisa tetep temenan—"

"Aku bilang jangan bujuk aku!" Remasan kencang tiba di pundak Adel saat Ashar membalik posisi hingga kini dia yang terimpit di antara dinding dan Ashar. Cowok itu melotot geram. Napasnya memburu.

"Jangan kasih aku harapan yang nggak ada isinya! Kamu mau aku bunuh, hah?"

Binar harapan yang sempat mencuat di mata Adel mati.

"Kamu … rela bunuh aku?"

Sekuat tenaga Ashar mengeraskan wajah, melawan pukulan kuat di nuraninya. Matanya kembali berlinang.

"Kenapa nggak? Kamu cuma cewek yang belum berhasil aku perkosa kayak cewek-cewek lainnya. Kamu serendah itu di mata aku. Kamu pantes dijadiin objek hal menjijikkan yang paling kamu benci itu!"

Muka Adel pias.

Ashar … mengatakan segala hal yang sudah dia curhatkan sambil menangis di hadapan cowok itu.

Air mata mengalir di kedua pipi Adel, membuat Ashar lemah, dan meremas pundak cewek itu kencang sebagai pengalihan pikiran.

Adel memekik kesakitan.

Cowok itu mendesis berang. "Aku bisa lakuin apa aja yang aku mau ke kamu. Kamu bisa aja mati di sini! Kamu lupa nggak ada siapa-siapa di sini selain kita? Nggak bakal ada yang tau kalo kamu lagi begini sama aku. Apalagi cowok kebanggaan kamu itu!"

Adel memejamkan mata. Air matanya merembes deras.

Membuat Ashar belingsatan. Bukannya panik dan memohon ampun, kenapa Adel justru kelihatan sangat terluka karena perubahan sikapnya?

Ashar tidak suka.

Ashar tidak sanggup.

"Kamu teman pertama aku."

Suara serak itu mengejutkannya.

Adel menatapnya getir dalam jarak di mana napas keduanya saling bertemu.

"Kamu … orang pertama yang buat aku nganggep, oh … aku … juga punya temen kok. Aku nggak perlu nangis, nggak perlu depresi, karena aku … punya temen. Itu yang aku pikirin selama ini. Kamu nggak tau 'kan? Kamu seberarti itu buat aku?"
Pipi Ashar berkedut.

"Diem!"

"Kamu satu-satunya orang yang aku hubungin waktu suara di kepala aku selalu ngebentak aku, ngerendahin aku. Aku selalu berjuang tiap malam, berusaha ngalahin pikiran buruk yang nggak pernah lepas dari kepala aku."

Adel berkedip kala air matanya berderai.

"Selama kamu ada di sini, semuanya … pelan-pelan jadi membaik. Kamu bener-bener ngebantu aku bahkan cuma dengan fakta bahwa kamu ada. Aku kenal kamu. Kamu baik sama aku. Kamu nganggep aku temen, sahabat. Ngebayangin aku bisa cerita apa aja ke kamu dan bakal kamu dengerin sampai selesai selama apa pun itu, selalu jadi kekuatan tiap aku nangis berjam-jam di kamar, mempertanyakan sebenernya apa gunanya aku hidup. Kamu sepenting itu buat aku, Shar. Kamu bukan sekadar orang nomor dua setelah Egi yang bisa aku buang begitu aja. Enggak, kamu nggak begitu."

Adel mengepalkan tangan yang berada di dada Ashar.

"Kamu berharga."

Dia terisak.

"Tolong jangan begini. Tolong jangan jadi orang yang nggak aku kenal. Kamu itu Ashar. Ashar aku yang baik. Jadi tolong, udah. Please udah. Aku capek banget…."

Sedikit lagi. Sedikit lagi hentakan di hati itu memenangkan ego Ashar, tapi sebelum Ashar menyerah dan mendekap gadis itu, sisi liarnya menyentak. Mata Ashar menggelap. Dia menarik kerah seragam Adel dan berbalik, mendorong cewek itu ke ranjang dengan kasar.

"Shar!"

Dia menindihnya, membuat Adel sesak. Kain kemeja yang basah terterpa air mata itu tanpa pikir panjang Ashar tarik. Merobeknya kasar hingga kancing-kancingnya terpental, menyisakan baju dalam tipis yang melindungi bra dan dada Adel.

Tangan Ashar mencengkeram dua tangan Adel, tak peduli kukunya menancap di telapak tangan cewek itu, mencipta darah anyir.

Adel tak bisa berkata-kata. Jantungnya bertalu-talu. Ini sungguh posisi yang paling ia takuti. Bibirnya
gemetar hebat.

"Jangan nangis, sialan! Kenapa kamu selalu aja nangis setiap waktu! Aku benci tau nggak? Aku benci!" bentak Ashar menutup mata frustrasi. Tetes air menyapa bibir kering Adel, membuatnya tergugu saat sadar, bahwa Ashar pun … tengah menangis dengan isak kesakitan yang amat kentara.

Dia juga terluka.

Dia juga menderita.

Tapi mau bagaimana lagi? Adel harus apa?

Apa pun yang dia katakan, siapa pun yang dia pihak, pasti akan menyakiti Ashar pada akhirnya.

"Ma–af."

Suara lirih dan tercekat itu melepaskan pejaman mata Ashar. Dia menatap Adel bertanya.

Adel menggigit bibir, terisak kencang.

"Maaf, karena udah bikin kamu sakit. Maaf, Shar. Aku minta maaf!"

Hati Ashar tersentuh sepenuhnya.

Kata-kata yang Ashar kira adalah omong kosong itu, akhirnya berhasil menyentuhnya.

Namun, sudah terlambat.

Suara puluhan mesin motor, entakan langkah kaki, dan dobrakan kasar saat pintu kamar ditendang dari luar
mengakhiri segalanya.

Pintu terjatuh kencang, menimbulkan debaman nyaring di antara ributnya deras hujan.

Di tengah-tengah gerombolan cowok basah kuyup itu, Egi berdiri. Terengah-engah. Dengan tangan terkepal kencang dan bibir terkunci rapat.

Suara napas tersengal-sengal
memenuhi ruangan.

"GUE BUNUH LO, SIALAN!"

[END] Balikan BangsatWhere stories live. Discover now