34 | Start

155 8 1
                                    

"Aku pecandu narkoba."

"Apa?"

Rahang yang diterpa angin itu mengetat. "Aku make narkoba sejak SMP, udah berkali-kali usaha buat berhenti, tapi makin menjadi karena walau aku mulai pucat dan kurus, orang tua aku tetep nggak tertarik buat peduli. Ngelirik aja nggak pernah." Ashar menerawang. "Mereka sibuk sama dunia kerja masing-masing, nggak tau gimana caranya ngisi energi dengan kasih sayang padahal mereka pasangan. Love language itu nggak ada di keluarga aku, Del. Rumah kita dipenuhin sama rasa capek, dan tambah parah karena tiap emosi kesentil, mereka bakal bertengkar hebat. Saling menuntut perhatian, respect, tapi dengan cara ngerendahin satu sama lain. Dan aku ada di tengah-tengah mereka."

Adel tampak mau menyela.

"Aku udah ngalamin semua rasa sakit yang kamu rasa. Disakitin, dihina, dikhianati, diabaiin, bahkan dikurangajarin. Semua itu berulang-ulang dilemparin ke muka aku sampe aku lupa … gimana rasanya bahagia tanpa ngelibatin perasaan kayak yang kamu lakuin ke Egi. Ngalamin berbagai perasaan yang diperparah sama orang tua itu … ngebentuk aku untuk kehilangan rasa emosi apa pun. Aku nggak ada perasaan apa pun, bertahun-tahun. Dan kamu berhasil numbuhin itu lagi."

Ashar perlahan tersenyum.

"Semua kebingungan dan penderitaan yang kamu peluk selama ini, bikin aku tergerak buat mendekat. Aku pengen merasakan itu juga, perasaan terombang-ambing yang udah mati di hati aku. Tapi ternyata, alasan itu cuma omong kosong. Aku justru ngebuka sisi yang sejak kecil aku elu-elukan buat diberi. Aku bergantung sama kamu. Aku mau kamu ngasih semua perasaan nyaman yang nggak pernah aku dapetin selama aku hidup."

Adel hampir mengembuskan napas lega. Namun terbungkam kala bibir Ashar tertarik lebar. Dia menyeringai.

"Tapi aku lupa, obat-obatan yang dulu aku pake itu, udah mengubah diri aku sepenuhnya. Dia maksa aku melihat kamu dengan cara yang salah, bikin aku tergerak buat dapetin kamu, karena aku pikir … cuma kamu yang bisa nerima aku."

Bibir Adel terbuka.

"Dan sekarang, aku nyerah. Bakal lebih baik nyakitin diri aku karena perasaan kosong ini selamanya, daripada maksa kamu jadi milik aku."

Ashar terkekeh.

"Buat terakhir kali, boleh nggak aku minta sesuatu?"

Adel berkedip. "Apa?"

"Tolong, pura-pura kencan sama aku buat terakhir kalinya."

Sekali lagi, dia tersenyum lebar.

.

Novi harus mengingat semuanya! Malam itu, detail kecil yang sempat dia lihat di raga pemerkosanya. Tidak peduli sesakit apa kepalanya karena sudah Novi pukul agar mengingat ingatan itu, Novi masih tak mendapat petunjuk apa pun.

"Ingat dong! Sampai kapan kamu jadi nggak berguna gini, hah?!" bentaknya kehilangan akal. Mata Novi semerah darah, akibat begadang yang nyaris menghampiri dua hari penuh. Novi tak berdaya. Mendengar tangisan Adel waktu itu begitu menyayat hatinya.

Novi kira kalau dia diam, semuanya akan baik-baik saja. Tak akan ada yang hancur di keluarga mereka. Hanya dirinya yang perlu melihat sisi binatang dari Papa. Adel dan Bunda tidak perlu. Tapi nyatanya tidak begitu.

Novi memukul meja belajarnya putus asa. Muak. Sungguh mengesalkan. Berapa kali pun dia menggambar sosok itu, hanya kegelapan yang menghampiri benaknya. Novi tidak bisa ingat, sebab gang itu tak memiliki pencahayaan apa pun kecuali kilatan petir yang sesekali menampakkan siluetnya.

Tetap saja, Novi tidak bisa mengingat sepenuhnya.

Bel rumah ditekan, suaranya yang nyaring langsung memasuki pendengaran Novi di dalam kamar.

Tak mendapat respon, bel kembali berdengung.

Novi terlanjur ketakutan, mengira itu Farhan. Namun benar juga, untuk apa pria itu menekan bel?

.

Kepalan tangan Egi sudah berkeringat saking seringnya dia remas. Egi menatap marmer teras dengan bingung. Beribu benak merayapi pikirannya. Sebelum terangkat dan menekan bel untuk kesekian kalinya.

Pintu terbuka.

Mata mereka bertemu.

Egi menarik napas berat. Pundaknya terasa ditimpuki berton-ton batu.

"Kak Novi."

Mereka masuk ke ruang tamu. Sebelum celana jeans Egi menyentuh sofa, Novi menggerakkan tangannya, memberi tanda agar Egi menunggunya.

Ini satu-satunya cara yang bisa Novi lakukan untuk membongkar semua yang terjadi malam itu. Kala tiba di kamarnya, segera Novi mengacak-acak tumpukan kertas dan mencari hasil akhir dari gambarnya. Kemudian terburu-buru menghampiri.

"Tenang, Kak. Ada apa?" bingung Egi.

Egi tersentak kaget waktu tongkat Novi jatuh menimpa tehel saking cepatnya Novi duduk. Mata Egi mengikuti tiap gerak cewek itu. Tangan gemetar Novi menggenggam pensil, sementara yang satunya membalik kertas kosong yang masih bersih.

Pelaku.

Malam itu.

Dia menulisnya asal-asalan, membutuhkan waktu beberapa detik karena panik tak henti menghantam jantungnya.

Kening Egi mengernyit. "Maksud Kak Novi, ilustrasi-ilustrasi ini adalah gambaran pelaku yang nyakitin Kak Novi malam itu?"

Dia mengangguk cepat.

"Pas! Aku juga ke sini buat cari tau soal itu." Diambilnya beberapa lembaran dan mengamatinya. Sehelai rambut bergelombang Egi jatuh ke dahi, sedikit menghalangi pandangannya.

Gambar pertama adalah siluet pundak yang mengungkung, uluran tangan yang mencekik leher Novi, di mana cara Novi menggambar tangan itu amat detail. Egi bisa menerka ini bukan sejenis tangan dari sosok berotot atau pekerja keras, amat bertolak belakang dari pelaku yang ditangkap waktu itu. Pelaku dulunya adalah pria pengangguran yang melakukan pekerjaan kasar seperti buruh di waktu tertentu. Terlebih lagi, Novi menulis 'tidak kasar' di bawah gambarnya.

Egi melihat Novi sekilas, sebelum melihat gambar lainnya.

Selebihnya, ada siluet yang memayungi kepala orang itu dengan kupluk jaket, yang Novi arsir paling gelap dari gambar lainnya. Novi juga menampakkan jakun pria itu, garis rahangnya, dan kerah kemeja di balik jaket yang tidak teresleting itu. Egi menyipitkan mata.

"Ini … seragam sekolah?" tunjuknya pada sedikit gambar logo OSIS di bagian saku orang itu. Novi meneleng tidak yakin.

"Aku cuma lihat sekilas, itu pun belum tentu logo OSIS beneran."

Melihat Novi berbicara sedekat ini, dan meneliti ekspresinya, buat Egi tak perlu bertanya dua kali untuk memahami.

"Kak Novi … bisa lihat dadanya?" Egi mendapatkan petunjuk lain.

Mencondongkan bahu ke depan, Novi mengangguk.

Di gambar abu-abu itu, jelas tampak bahwa dada pria itu tidak terlihat karena kerah kemeja saja, melainkan karena sengaja bagian atas kancingnya terbuka.

Tapi itu terlalu lebar kalau hanya satu kancing.

Egi berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut, kembali menatap semua ilustrasi di hadapannya.

Sentuhan di punggung tangannya menyentak Egi.

Novi memandang cowok tujuh belas tahun itu lurus. Dua irisnya berkaca-kaca, tapi dipenuhi kesungguhan kala Egi menangkap jelas gerakan bibirnya yang berkata, "Tolong jagain Adel, Gi. Tolong."

Pipi Egi mengetat. Bibirnya berkedut geram.

"Pasti."

[END] Balikan BangsatOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz