13 Ablasio Retina

Start from the beginning
                                    

"Banyak pasien yang berhasil dengan operasi mereka, Nona. Penglihatan mereka juga kembali normal dan membaik seratus persen," ucap dokter menenangkan.

Kamala masih menahan rasa sesak. Matanya pedih tersengat ketakutan. Dia tidak tahu mengapa perkataan dokter di hadapannya sama sekali tidak membantu meredakan ketegangan di hatinya. Dia mendengarkan perkataan dokter beberapa saat lagi sebelum akhirnya pamit undur diri.

Pulang dari rumah sakit Kamala tidak langsung kembali ke indekosnya. Wanita itu justru pergi ke rumah sakit lain untuk mencari diagnosis pembanding. Hasilnya sama.

Kamala terkena ablasio retina.

"Kenapa aku bisa terkena penyakit ini?" Wanita itu menghempaskan diri ke atas tempat tidur.

Hari ini dia sengaja mengajukan cuti sakit. Tiga dokter mata sudah ditemuinya. Dan semua memberikan hasil seragam.

Pandangan Kamala tertuju pada langit-langit kamar. Kilasan cahaya putih masih terus mengganggunya. Wanita itu memejamkan mata, mencoba tidur.

Namun, jeritan keras ponsel menghancurkan seluruh keinginan Kamala. Menggerutu kesal wanita itu menyeret tas dan mengambil gawainya.

"Halo, Bapak?" sapa Kamala mencoba bernada ramah.

"Sudah sembuh sakitmu?"

Kepala wanita itu menggeleng, tetapi mulutnya mengiakan pertanyaan sang pemilik penerbitan.

"Sudah mendingan, Pak. Ada apa Bapak telepon saya?"

"Ada berita bagus untuk Syaron."

Terdengar suara kemersak di latar belakang. Kamala kembali memejamkan mata. Batinnya mendadak sendu saat menyadari mungkin saja beberapa minggu ke depan dia hanya akan mengandalkan pendengaran alih-alih penglihatan.

"Nah, ketemu!" Terdengar suara riang menyapa gendang telinga Kamala.

Kening wanita itu berkerut. Dia tidak terlalu fokus pada telepon bosnya. Benak wanita itu malah dipenuhi opsi gila tentang aroma pengharum ruangan apa yang sebaiknya dia pilih agar saraf-sarafnya tidak terlalu tegang.

"Ada satu rumah produksi yang berminat dengan naskah Syaron. Mereka ingin mengadaptasi novel ini menjadi miniseri untuk teve kabel."

Opsi tentang aroma lavender atau melati langsung buyar seketika. Kamala membuka mata dan duduk tegak. Nanar dipelototinya makrame yang jadi penghias dinding kamar.

"Rumah apa, Pak?" Kamala bertanya dengan dada berdebar-debar.

"Satu rumah produksi sudah baca sinopsis Blasio Note. Mereka tertarik membuatnya jadi miniseri."

Telinga Kamala menangkap ocehan si bos besar. Dia juga mendengar satu nama rumah produksi terkenal milik salah satu pengusaha kaya Indonesia disebut-sebut oleh sang pemilik penerbitan. Mulut wanita itu terbuka lebar.

"Bapak, tunggu dulu. Novelnya saja bahkan belum diterbitkan. Ini kenapa sudah ada produser yang mau menjadikannya miniseri?"

"Kalau begitu, kebut pembuatan novelnya. Suruh si Syaron segera selesaikan draf novelnya, Kam. Akhir minggu ini minta Ridwan buat nge-layout. Akhir bulan sudah bisalah kita soft launching ke toko buku langganan kita."

Kamala nyaris tersedak ludahnya sendiri. Wanita itu bangkit dan berjalan mondar-mandir. Rahang Kamala mengencang.

"Bapak, jangan bercanda. Ini novel, loh. Estimasi kita biasanya tiga bulan baru bisa terbit. Ini ... ini terlalu cepat. Syaron mana bisa dikebut?"

"Pokoknya harus bisa. Kamu sudah janji untuk bantu dia, kan? Tenang saja. Ada uang lembur khusus buat Blasio Note."

Uang lembur kepalamu!

Blasio NoteWhere stories live. Discover now