Untuk kesekian kalinya, Adam menghela nafas. Adam tiba-tiba terisak, hanya didepan ibu ia mampu bertingkah selayaknya manusia biasa yang memiliki beban hidup, hanya didepan ibu ia mampu bertingkah layaknya orang lemah, dan ia tidak perlu takut dituntut untuk menjadi pemimpin yang tegar, karena ibu adalah orang yang mengandung dirinya selama sembilan bulan, melahirkannya dengan taruhan nyawa. Sekali lagi, ibu memilimi naluri kuat, ibu selalu mengerti hal sekecil apapun tentang dirinya, dengan begitu Adam meluapkan semua keluh kesahnya pada ibu. Biarlah untuk hari ini ia terlihat rapuh.

"Aku hanya takut pada diri ku sendiri, jika aku mati, apa dia akan sedih? Jika aku mati, bagaimana dia melanjutkan hidup? Bu aku bahkan tidak bisa menjamin nyawa ini bisa bertahan sampai dunia tenang."

"Tugas bisa datang kapan saja, dan itu tandanya nyawa ku pun bisa lenyap kapan saja. Lantas, apa aku bisa bertanggung jawab padanya, jika dia menuntut keselamatan ku? Menuntut ku bertahan selamanya dengannya?" Adam melanjutkan.

"Nak, kau adalah putra ibu yang berbudi luhur, taat kepada orang tua, dan juga kepada Tuhan. Mengapa kau melupakan hal yang ketiga? Kau baru saja melakukannya, setiap saat berulang. Mengapa kau tidak meinta pada-NYA, seperti ibu dan ayah yang selalu meminta keselamatan mu pada-NYA, kau juga bisa melalukannya nak."

"Jangan membuat hati tulus seorang gadis terluka. Ibu yakin sangat yakin, disana, gadis itu pasti sedang berusaha melakukan hal apapun untuk memperjuangkan keinginan hatinya. Pergilah nak, jangan membuatnya terlalu lama menunggu, doa ibu dan ayah merestui mu."

Adam memeluk ibunya dan hari itu ia berhasil mengambil keputusan terbesar didalam hidupnya. Berkat restu dari ayah dan ibu, kali ini Adam tidak akan mundur.

Adam akan kembali kesana, dan meminang gadis itu.

Eve, tunggu aku.

000

Pada suatu pagi di tanggal 14 November 1942, Adam mendapat penghargaan karena kembali berhasil menjalankan misi. Ia di anugerahi kenaikan pangkat, dari seorang sersan menjadi seorang letnan.

Kala itu atasan Adam menyarankan untuk mereka merayakan keberhasilan Adam. Namun Adam menolak. Ia meminta satu permintaan yang cukup membuat Kapten Steve —atasannya— menjadi syok.

"Sir, aku ingin cuti beberapa minggu ke depan. Dalam waktu dekat aku ingin meminang kekasih hati ku."

Keterkejutan kapten Steve tidak berhenti sampai disitu. Nyatanya pria itu dua kali lipat mengalami syok setelah mendengar, siapa kekasih hati seorang Adam.

"Dia putri bangsawan Hesse, dari Jerman."

"Adam, apa kau yakin dia gadis bersih? Karir militer mu dipertaruhkan disini."

Tanpa keraguan sedikit pun, Adam menjawab dengan tegas hingga mampu membungkam mulut kapten Steve.

"Aku yakin pada gadis pilihan ku."

.
.
.

Senin, 16 November 1942, Adam berpamitan pada Ayah dan ibu. Ia akan berlayar ke tempat Eve berada, untuk menjemput gadis itu. Estimasi perjalanan Adam kala itu, memakan waktu sekitar empat belas hari.

"Pergilah nak, jemput menantu ayah dan ibu. Doa kami menyertai mu."

000

Albert mengusap kedua telapak tangannya ketika hawa dingin mulai semakin terasa nyata. Besok, gadis yang kini sedang berada disampingnya, berjanji akan pulang ke rumah ayah dan ibu gadis itu.

Gadis itu, tak lain dan tak bukan adalah Eve, sahabat semasa kecilnya.

Albert sedikit sedih tatkala mendapati tatapan kosong gadis itu pada pemandangan dihadapan mereka.

Semenjak Adam pergi meninggalkan mereka, mereka berlindung ditempat teraman peninggalan lelaki itu dan sejak saat itu pula, Eve mulai bertingkah beda.

Memang, gadis itu masih aktif menjalani kegiatan sebagai seorang relawan medis, namun saat malam menjemput. Eve yang tadinya tersenyum ke pada siapapun yang dijumpai gadis itu, berubah menjadi Eve yang pendiam, seolah cangkang kosong tanpa nyawa.

Eve selalu berdiri didepan jendela, mengintip pemandangan malam melalui tirai, terus begitu, berulang kali setiap malam. Hingga membuatnya saat ini habis kesabaran.

"Demi Tuhan, Eve. Mau sampai kapan kau meratapi Adam? Kemana jiwa tengik mu menghilang? Kau membuat ku takut." Albert berseloroh cukup keras hingga mampu mengalihkan atensi gadis itu sesaat dan gadis itu tampaknya tidak menggubris apapun yang ia katakan, terbukti dari pernyataan yang terlontar dari mulut si gadis.

"Albert, apa kau pernah jatuh cinta?"

Hati Albert, tiba-tiba mencelos saat mendengar perkataan Eve. Gadis itu menatapnya dengan tatapan terapuh yang bahkan membuatnya tak yakin bahwa gadis itu punya.

"Aku pernah sampai sekarang masih, dan itu menyakitkan."

Eve menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca lalu beralih merengkuh tubuhnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya, hingga membuat dadanya seketika terasa sesak.

Begitu besarkah cinta mu pada Adam, Eve?







I WILL WAIT FOR YOUWhere stories live. Discover now