“Hari libur kok belajar? Istirahat dulu Nak.”
Nandara mengerjap bingung “Bukannya kata Ayah aku harus belajar setiap hari agar pandai seperti kakak? Aku tidak mau membuat Ayah malu karena punya anak yang bodoh.” Jawabnya dengan sendu.
Simon terpekur, seketika kilas balik ketika dia menghardik, memaki, juga memukul si bungsu hanya karena perkara akademik terlintas dipikirannya.
Kasar sekali dia memperlakukan sang anak.
Pantas saja Nanda begitu takut ketika melihatnya. Bahunya selalu turun seperti orang yang sedang menanggung beban berat.
Bagaimana tidak, semua kesenangan dan hak masa muda anak itu telah direnggut paksa oleh arogansi dan kebengisannya.
Simon merasa bersalah.
“Kata siapa Papa malu? Papa bangga tau punya anak hebat kaya kamu. Jangan terlalu memaksakan diri ya? Bagaimana pun hasil yang kamu raih Papa sudah cukup bahagia karena itu semua hasil kerja keras Nanda.” Kalimat itu lantas keluar begitu saja dari mulutnya. Bukankah seharusnya sejak dulu dia bersikap seperti ini?
“Sungguh?” Mata bulat Nanda mengerjap lucu.
"Eummm, tentu saja sayang. Kalau Nanda jenuh, Nanda bisa melakukan hal apapun yang Nanda suka.”
“Termasuk melukis? Oh, oh dan basket? Juga main bersama teman-teman?” Tanyanya antusias dengan binar mata yang perlahan kembali hidup.
“Iya, apapun itu yang penting bisa mengisi kembali semangat Nanda.” Setelah berucap demikian Simon terpaku melihat senyuman Nanda yang begitu lebar. Dia berani bersumpah bahwa itu adalah senyuman paling manis dan paling indah yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Hatinya terasa hangat lalu tiba-tiba merasa sakit mengingat ia seringkali membuat setiap sudut bibir tipis yang cantik itu melengkung kebawah.
“Ayah eh Papa?”
“Eum? Papa saja” Ujar Simon mengerti.
“Terima kasih banyak Papa, Nanda senang sekali. Sebetulnya selama ini Nanda sudah mengerahkan semua yang Nanda bisa untuk mencapai standar Papa. Mungkin memang Nanda-nya saja yang payah. Apa Papa benar-benar bangga pada Nanda?” Manik anak itu lagi-lagi mengerjap lucu.
“Tentu saja! Nanda itu juga anak baik yang sangat penurut. Pokoknya Papa bangga dengan itu.” Simon terkekeh pelan melihat Nanda yang kembali tersenyum lebar setelah mendengar jawaban darinya. Anak itu nampak sangat lega.
“Terima kasih ya karena Nanda selalu menghormati dan menuruti keinginan Papa. Kamu sudah berusaha dengan baik. Anak bungsu Papa hebat sekali. Maaf ya kalau selama ini Papa terlalu keras dan memaksa.” Simon lantas memeluk sambil sesekali mengecupi puncak kepala sang anak. Hatinya kini terasa lapang. Kebahagiaan anaknya ternyata begitu sederhana. Nandara hanya perlu diapresiasi dan diberi waktu untuk menikmati hidup sebagaimana remaja pada umumnya.
Dia belum terlambatkan? Kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak.
“Papa?”
“Hm?” Simon melonggarkan pelukan mereka, menatap manik sang anak yang tengah mendongak melihatnya.
“Terima kasih, sekarang Nanda sudah benar-benar bahagia.”
Sampai disini semuanya terasa tidak asing. Simon merasa ini adalah sebuah déjà vu. Dia tidak siap mendengar apapun yang akan anak itu ucapkan selanjutnya.
“Nanda pamit pulang ke rumah baru ya? Nanda semalam hanya menginap disini sekaligus menumpang belajar. Papa selalu bilang kalau kita tidak boleh membuang-buang waktu.”
Tubuh Simon rasanya seperti tersengat aliran listrik. Nyatanya dia sendiri yang selama ini telah membuang banyak waktu dan menyianyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan.
YOU ARE READING
Safe Space | Jaemin
FanfictionSafe space (n.) a place of people can feel confident that they will not be exposed to discrimination, criticism, harassment, or any other emotional or physical harm. ~✩ Na Jaemin's oneshot collection book. Fill up with full of joy, tears, family jou...
8. What If, But If
Start from the beginning
