28 | Alasan

205 7 0
                                    

Ucapan Welcome to Nea Café masuk ke gendang telinga Egi kala mendorong handle di pintu kaca. Mata tajamnya memendar, memutari seisi kafe yang dipenuhi lampu gantung bernuansa redup. Meski tiap sudut kafe dilapisi oleh kaca, hanya sedikit celah matahari yang bisa menyusup masuk. Menambah suasana nyaman dan tenang. Itu juga sebabnya beberapa pengunjung di sini memilih menikmati minuman mereka sambil membaca buku, atau mengerjakan tugas di notebook.

"Gi!" Panggilan bariton ditemani lambaian tangan itu berhasil membantu Egi menemukan apa yang dia cari. Egi membuang napas yang menyesak di dada, kemudian melangkah masuk setelah melempar senyum kecil dan menyapa, "Jo."

"Lo nunggu lama? Maaf, padahal lo sibuk banget. Thanks ya udah sempetin dateng.” Egi mencerocos sambil menatap cowok dua puluh lima tahun di depannya memelas. Meja bundar mungil di antara mereka tak memberi jarak berarti, tapi tampak dengan jelas, dari cara Egi mengatur nada suaranya, dia jelas menghormati Jo.

"Nah-nah. Santai aja, yang sibuk itu detektif polisi, bukan gue." Jo menyeruput Hot Latte pesanannya, kemudian tersenyum lebar tanpa peduli foam susu yang menghias tepi atas kopinya telah berpindah ke atas bibirnya, membentuk kumis palsu yang berantakan.

"Kadang gue bingung lo beneran detektif atau bukan," heran Egi seraya menarik dua lembar tisu lalu menyodorkannya. Jo tersenyum lagi, terkekeh pelan seakan ada hal lucu.

Yah, senyumnya manis sih, jadi tidak masalah bagi Egi. Ekspresi yang Jo tunjukkan bukan air muka yang tidak enak untuk dilihat. Lagipula, bukan itu tujuan Egi menemuinya.

"Skip dulu soal ngepoin gimana gue bisa dapet kerjaan ini. Gue tau lo nggak tenang sekarang. Nah, kasih tau gue, to the point. Apa masalahnya?" Jo menumpu dua siku ke tepi meja, menggabung dua tangannya dan memajukan bahu sedikit ke depan. Posisi tubuh yang sengaja dia lakukan agar Egi tahu, dia benar-benar peduli.

Embusan napas Egi kian panjang. Yah, tidak heran sih. Seorang detektif swasta jelas menguasai banyak kepribadian. Dalam hati Egi tak henti bersyukur dia mengenal Jo, meski mereka bertemu karena insiden Jo hampir mati saat dihadang remaja yang mengancam dengan belati kalau Jo tak memberi apa pun yang dia punya. Walau Egi tahu, Jo bukan nama asli dari cowok ini, tapi kesediaannya datang demi mendengar dan memberi Egi satu-dua saran sudah sangat membantu.

Jujur, Egi mulai frustrasi memikirkan Novi dan Adel.

"Ini soal Kak Novi, orang yang penting buat gue. Dia bisu sejak lahir. Ada yang terjadi malam itu, gue nggak tau begitu jelas, apa dia berantem sama adeknya, orang tuanya atau gimana, tapi dia kabur pas malem udah larut banget. Mana lagi hujan deras. Singkatnya," Egi memejamkan mata kalut, "dia diperkosa sama seseorang tanpa mampu buat minta tolong, dan waktu dia berusaha kabur, dia ditabrak. Tulang kakinya retak. Gue nggak tau sampai kapan dia mesti pake kursi roda kemana pun dia pergi sekarang. Waktu kasusnya diusut sama polisi, bahkan sampai disidang, pelakunya udah ditangkep. Sosok empat puluh tahunan yang terlalu mabuk, hilang akal dan ngelecehin Kak Novi seenaknya. Karena ada banyak bukti yang mengarah ke orang itu, apalagi jejak DNA Novi ada di bajunya, pengadilan mutusin buat ngehukum orang itu."

" … oke, terus?"

"Ini dia masalahnya, Jo." Egi menarik kursinya lebih dekat. "Udah setengah tahun berlalu sejak pelakunya ditangkep, Kak Novi pun terus ngejalanin rehabilitasi dari rumah, tapi nggak ada satu pun perubahan yang ngarah ke kemungkinan dia sembuh. Tiap dideketin, meski sama adeknya sendiri, yang mana sebelumnya mereka lumayan dekat, Kak Novi bakal histeris. Mengamuk, lakuin apa pun supaya adeknya menjauh. Bahkan ngelempar barang kayak gelas kaca dan hampir ngelukain orang lain. Kak Novi makin nggak terkontrol, Jo. Dan terakhir kali gue ke sana, padahal jelas cuma ada dia di rumah, tapi dengan kondisi sebelah kaki lumpuh, dia lari. Kelihatan susah payah menjauh dari sesuatu yang terlalu menakutkan buat dia. Air muka Kak Novi waktu itu … terlalu sulit buat gue pahami. Dia takut, dia merinding, kayak ada hal besar yang bikin dia segemetar itu sampai bekas jahitan di kakinya ngerembesin darah yang gue yakin, pasti itu sakit banget."

Egi berkedip cepat ketika Jo membawa tangan berototnya terlipat di depan dada, dan berpikir dengan mulut terpilin.

"Jo, gue tau di mata lo gue cuma anak SMA yang nggak tau apa-apa soal hukum, tapi … entah kenapa dari semua detail yang gue lihat sendiri itu, gue ngerasa kalo masih ada sesuatu yang belum selesai di malam Kak Novi diperkosa. Ada hal yang harusnya polisi tau, keluarganya tau, tapi terhalang karena hal yang mungkin berasal dari…"

Jo menatap Egi. Alisnya terangkat.

"Lo…."

Egi menggigit pipi dalamnya. "Mungkin berasal dari pelaku yang sebenernya."

"Ini agak rumit dari yang gue bayangin." Jo berdecak. "Gue kira masalah hidup anak SMA cuma soal keluarga, temen-temen sama masalah hati. Anyway, Gi, dengerin gue. Keputusan hukum nggak selamanya bener, apalagi kalo kasus ini nggak diusut bener-bener serius. Apa mereka bahkan nyewa detektif waktu itu? Kemungkinan besar enggak, ‘kan? Karena kebanyakan orang tua mikirin hal lain yang lebih berarti daripada ngusut sesuatu cuma demi harga diri anaknya yang bagi mereka hanya anak remaja yang nggak ngerti apa-apa. Bisa aja gagasan lo bener. Mungkin aja kronologi yang berhasil polisi kumpulin nggak seperti itu, nggak sebener itu. Gue juga nggak mungkin datengin tuh cewek langsung. Lo berniat nyari tau masalah ini tanpa ngasih tau orang tuanya, 'kan?"

Egi meringis. "Itu karena gue merasa ada yang nggak beres. Cuma gue sama adeknya yang tau soal ini."

"It’s okay. Gue paham. Emang nggak semua orang bisa lo percaya. Jangan percaya siapa pun dengan gampang. Yang bisa lo lakuin sekarang adalah sumber dari masalah ini sendiri."

"Kak Novi?"

Jo mengangguk. "Hh-hm. Deketin dia, buat dia nggak merasa asing sama kehadiran lo. Cari cara deh kalo perlu. Lo tau? Karena dia nggak bisa bicara, bukan berarti lo kehabisan kesempatan buat ngusut ini lebih dalem. Justru karena dia bisu, pasti ada hal lain yang dia lakuin untuk ngungkapin perasaannya, ngungkapin apa yang dia pikirin. Itu yang perlu lo tau, dan waktu lo ngedapetin itu, tinggal menunggu waktu, lo … bakal tau apa yang sebenernya jadi biang dari semua keanehan ini."

Egi berpikir terlalu berat. Kepalanya jadi pusing. Namun segera dia tepis dengan menggeleng dan menenggak es kopinya dalam sekali teguk. Melihat itu, senyum konyol Jo muncul lagi.

"Lo percaya gue bisa lakuin ini tanpa elo, Jo? Gimana kalo gue salah langkah?"

Senyum Jo kian lebar, mengarah ke seringaian yang menyeramkan.
"Nggak bakal. Karena gue tau, lo nggak bakal sepeduli ini sama cewek itu kalo bukan karena alesan yang kuat."

Egi terdiam.

Benar. Ada alasan yang pasti, hal
yang begitu penting yang menjadi alasan dari semua kefrustrasian yang mesti dia rasakan untuk membantu Novi.

Embusan napas Egi akhirnya terdengar lega. Meski begitu, saat mengulurkan tangan dan menjabat tangannya, Jo tahu, ada ketakutan yang tak mampu Egi kontrol di dalam dadanya sekarang.

"Makasih banyak, Jo. Gue nggak bakal pernah lupa bantuan lo hari ini, juga … lo bener. Gue … bakal ngelakuin apa pun supaya masalah ini selesai." Sorot mata Egi berubah serius, teramat intens, menampakkan betapa berangnya ia pada hal ini.

Tak ada apa pun yang tak bisa Egi lakukan untuk Adel.

Tidak ada.

-oOo-

17 April 2022

[END] Balikan BangsatWhere stories live. Discover now