27 | Hancur

284 12 0
                                    

Genangan yang membentuk lingkaran air di halaman depan sekolah mulai tercerai berai saat satu per satu siswi melangkah masuk melewati gerbang. Beberapa siswa pengendara motor membelokkan motornya ke sebelah kanan, memarkirkannya secara rapi lalu turun dan membuka helm. Menimbulkan jejak memanjang yang segera lenyap saking derasnya hujan pagi ini.

Ashar mematung, tak bergerak seinci pun meski tetesan air di ujung rambutnya menerpa mata. Mengaburkan pandangannya.

Nggak. Nggak boleh begini.

Kelopak mata Ashar bergetar, giginya bergemelatuk tanpa mampu dia kontrol. Lidahnya terasa kebas, tak mencicip air hujan yang masuk lewat celah bibir yang memucat.

"Adel…."

Sepatu hitamnya menggesek tehel kelas cukup kasar ketika akhirnya dia bisa bergerak. Tanpa mengindahkan Rama yang mengumpat kesal di sudut kelas dengan muka bonyok, Ashar berlari. Secepat mungkin menggapai knop pintu XII IPA 2 dan menuruni undukan tangga penuh jejak kaki di ujung koridor jurusan IPA dan IPS. Langkahnya tergesa. Dia begitu panik, rasa khawatir membakar dadanya.

Adel membencinya. Adel tak menyukainya. Adel akan menjauh darinya selama-lamanya.

Telapak tangan merah dan lecet Ashar saling mengepal jari-jari dengan tremor. Dia tiba di lantai dua, segera ke lantai bawah dan mendapati ada beberapa siswa yang mulai datang. Satu dua cewek mendongak melihatnya, tampak ingin menyapa, tapi ekspresi tegang di wajah pucat Ashar langsung mengurungkan niat mereka.

Ashar benar-benar kacau.

Mata yang tak pernah memancarkan kehidupan sebelum bertemu Adel itu telah dipenuhi rasa cemas. Netranya berpendar kalut, berusaha menyatukan pikirannya dan mencari sosok cewek itu.

"Di mana-di mana-di mana? Mikir!"

Bentakannya menggelegar.

Ashar mengamuk sambil memukul keras kepalanya.

"Buku. Tadi dia megang buku." Tubuh basah kuyup itu melenggang melintasi lapangan upacara dan basket, membiarkan hujan menyiram habis dirinya. Lengan Ashar dipenuhi bintik air, wajahnya basah sempurna. Sorot pandangannya semakin kabur, air tak henti mengalir menuju bibir dan dagu. Kemeja putih itu menempel di punggung lebarnya. Tiap hentak kaki di sela berlarinya berhasil memporak-porandakan genangan air yang langsung mengotori celana abu-abu Ashar.

Ashar tidak peduli. Itu tidak penting. Tak ada apa pun yang penting di hidupnya kecuali Adel. Tidak ada.

Gedung perpustakaan berada paling sudut dan dipayungi oleh pohon besar di taman depannya. Ada meja bundar dan bangku yang sama-sama terbuat dari semen, bertebaran seperti dedaunan kuning yang jatuh.

Adel menampakkan diri kakunya dari balik pintu perpustakaan yang segera tertutup rapat. Bunyi engsel menyatu memenuhi pendengaran gadis itu kala tangannya terayun lemah di kedua sisi tubuh.

Adel berdiri di koridor, menatap hampa lantai beton yang mulai berlumut sembari menyandarkan kepalanya ke pintu. Memejamkan mata lelah.

Pertahanannya nyaris habis.

"Adel!" Panggilan memaksa diiringi dengusan napas memburu tidak membuat Adel goyah. Hanya getaran kelingking yang disembunyikan ke belakang yang membuktikan, bahwa kehadiran Ashar telah mencubit hatinya.

Suara tetesan air jatuh ke lantai menjadi satu-satunya suara di antara dua orang itu. Cara berdiri Ashar sudah tidak tegak. Bahu cowok itu oleng, membungkuk saking lemasnya. Deras hujan yang dia lewati membentuk poni memanjang, menutupi dahi pucat dan setengah matanya. Meski begitu pun, masih terpampang jelas kepedihan di dalam rongga mata itu.

"Kamu … baik-baik aja?"

Dari semua pertanyaan yang berkelabut di benak, kenapa Ashar malah menanyakan itu?

Ashar melangkah sekali. "Aku nggak tau kamu bakal dateng cepet hari ini. Tadi aku udah dateng ke rumah, tapi Tante bilang kamu udah berangkat setengah jam lalu. Sendirian lagi. Kamu naik apa ke sini? Bus? Taksi? Kalo gitu, kenapa sampe kena hujan? Kamu kedinginan, nanti sakit. Pulang dulu yuk? Aku anter. Nggak mungkin kamu belajar dan presentasi dalam keadaan kayak gini. Yah?"

"Shar," Adel mengangkat tangan, menahan gerakan Ashar yang ingin menyentuh pundaknya, "udah."

"Stop sama semua perhatian kamu. Aku nggak mau diperlakuin begini lagi. Udah cukup."

Ashar terbata-bata.

Adel mendongak, berucap dingin, "Sama kayak semua orang, kayaknya kamu pun ngira aku adalah cewek bodoh yang bisa dikelabui dengan gampang. Kasih aku perhatian, sikap baik dan manis di awal, terus minta hal yang mustahil di akhir." Dia memutar bola mata, berdecih. "Aku yang bego udah percaya sama alasan bullshit yang kamu bilang waktu itu. Enggak, emang harusnya aku nggak pernah percaya. Karena kamu sama sekali nggak pantes dapetin itu."

"Aku tau aku menyedihkan, sendirian, jadi bahan bulian satu sekolah. Aku pun nggak punya siapa-siapa selain Egi yang juga berubah. Tapi apa aku emang serendah itu sampe kamu milih aku buat dimainin begini? Hah? Apa nggak bisa kamu ketemu sama cewek sehat, cewek normal aja untuk dibikin baper sama semua sikap baik kamu atas nama sahabat? Kenapa aku?! Kenapa harus aku yang punya banyak masalah dan nggak pernah bahagia ini yang kamu pilih? Aku kira kamu tulus…. Aku kira kamu beneran bakal jadi teman yang selama ini aku idam-idamkan! Tapi nyatanya, nyatanya siapa pun yang dateng ke hidup aku, selalu pengenin sesuatu. Selalu-selalu-selalu mau aku jadi seperti apa yang mereka mau. Sekarang pun kamu! Kamu juga begitu! Hah…."

Dia menyugar rambut basahnya lalu menunjuk muka Ashar nyalang.

"Makasih, Shar. Makasih udah ngebuktiin kalo ternyata, aku nggak bisa percaya sama siapa-siapa. Makasih udah bego-begoin aku dan buat aku kembali terpuruk setelah kamu angkat dari rasa sakit sebelumnya."

Adel tidak bisa menahan diri lagi. Air matanya menetes, mengalir deras hingga bibirnya bergetar.

"Hati aku sakit...." Dia menggigit bibir dan tersengal. "Sakit banget…."

"Adel, aku…." Ashar tak punya kesempatan. Adel sudah telanjur pergi. Cewek itu dengan cepat berlalu, melewatinya tanpa sudi melirik kembali.

Meninggalkan Ashar dengan kekosongan yang begitu menyakitkan.

"Aku juga nggak tau kenapa bisa begini," lirihnya.

"Kalo bisa, aku bakal lakuin apa pun supaya nggak jatuh ke kamu. Aku juga nggak mau ini terjadi."

Ashar tersenyum.

"Tapi kayaknya, sekarang … aku udah semenjijikkan itu ya di mata kamu?"

"Apa aku udah nggak bisa balik lagi jadi 'Shar' yang selalu kamu panggil tiap waktu?"

Ashar terkekeh miris. Sebab diam pun, dia sudah tahu apa jawabannya.

"Akhirnya, kamu pun benci aku. Sama … kayak semua orang."

Pandangan Ashar menggelap. Kedua tangannya berubah dari jemari lemah menjadi kepalan yang makin lama menjadi kepalan kencang. Menampakkan urat-urat mengerikan.

Saat dia berbalik, mengarah ke gerbang sekolah, bukan punggung lemah lagi yang tampak, tapi pundak seorang Ashar, yang ditakuti semua orang. Sosok tinggi, mendominasi, dengan tatapan mata sedingin es.

Waktu menunggangi motor dan keluar sekolah juga berpapasan dengan Egi yang baru datang, Egi berhenti sebentar. Menoleh sekilas, memandangi asap yang timbul dari gas kencang yang Ashar timbulkan juga suara mendengung memekikkan telinga kala cowok itu pergi.

Kenapa … Egi jadi merinding?

-oOo-

15-16 April 2022

[END] Balikan BangsatUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum