2. Pewaris Tahta

45 4 2
                                    

Maik dan Laina dibawa oleh Tetua ke sebuah pondok merah di tengah desa. Itu adalah pondok tempat Tuan Marinaf biasanya mengumpulkan kepala keluarga untuk membicarakan hal-hal yang penting. Mulai dari peninggian dinding pengaman, pembentukan kelompok pengawas, hingga masalah tempat penguburan yang semakin sempit. 

Baru-baru ini, malah penduduk Desa Maynuf dikumpulkan untuk menggali sumur resapan agar jika hujan turun air bisa tertampung dengan lancar. Ini ide Maik yang dia dapatkan setelah membaca buku harian kakek uyutnya semalam suntuk. 

Ada banyak ide-ide dari bumi lama yang bisa diterapkan di desa Maynuf selain sumur resapan. Misalnya, teknik menanam pohon dengan memotong sebagian batangnya dan mencabuti daun-daunnya yang disebut kakek uyut Maik dengan stik. [1]

Tuan Marinaf memasuki gerbang kecil pelindung pondok. Pondok itu didesain memang dengan gerbang yang berdiri di sekeliling pondok. Ini dilakukan dengan pemikiran bahwa suatu saat akan ada kemungkinan serangan urksa atau hewan-hewan lain yang membahayakan warga desa. Jika itu terjadi, para manusia awal berharap, pondok ini bisa menjadi tempat perlindungan terakhir warga. 

Di dinding gerbang itu terdapat ujung sukriut yang ditempel menyerupai duri. Sukriut ini dipasang mengitari gerbang dan tersambung pada sebuah tombol yang jika ditekan akan mengakibatkan sukriut itu berbunnyi nyaring.

"Fuwhem! [2]" perintah Tuan Marinaf tanpa melihat ke Maik dan Laina.

Keduanya ragu untuk melangkahkan kaki ke dalam pondok. Maik malah dengan sengaja menatap rumah-rumah sederhana yang hanya diisi oleh dua orang di sekitar pondok merah. Rumah-rumah yang didesain oleh kakek uyut Laina. Katanya, dengan rumah kecil satu ruangan serbaada seperti ini, akan membuat warga lebih fokus pada apa yang terjadi di luar rumah dan membangun desa bersama. 

"Jangan membuatku mengulang perintahku." 

Nada tajam yang keluar dari ucapan Tuan Marinaf mau tidak mau membuat Maik dan Laina yang tadinya enggan kini bergerak cepat masuk ke pondok. Mereka segera duduk di lantai tepat di hadapan Tuan Marinaf sambil menunggu kalimat yang akan diucapkan oleh tetua mereka itu.

Tuan Marinaf mendesah kuat beberapa kali. Matanya menatap ke kejauhan, seperti menembus dinding tipis Pondok Merah, rumah-rumah warga, dinding pengaman, lalu jauh menembus hutan wiflow ke arah puncak Gunung Pugusefir.

"Kurasa kalian sudah bisa menebak, apa yang akan aku katakan sekarang."

Laina dan Maik tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas Tuan Marinaf. Mereka terbiasa menunggu Tetua atau orang yang lebih tua selesai berbicara sebelum menyampaikan pendapat mereka sendiri.

"Desa ini sudah tidak layak ditinggali." Tuan Marinaf menarik napas dalam sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Sejak mesin Fertil meledak, kita tidak lagi mendengar suara bayi di desa ini."

Mata Tuan Marinaf berpindah ke arah potret di dirinya yang tergantung di dinding bersama Tetua terakhir yang meninggal dua puluh tahun lalu sebelum tampuk kepemimpinan desa dipindahkan kepadanya. 

"Kalian juga bisa melihat sendiri tadi, urksa itu sudah mulai beradaptasi dengan keadaan desa Maynuf. Tidak lama lagi, sukriut-sukriut itu tidak akan lagi berfungsi menjaga desa kita."

Maik merasakan sesak di dadanya. Dia tahu yang diucapkan Tuan Marinaf benar. Dia menyaksikan sendiri bagaimana urksa-urksa itu bertahan lebih lama dari biasanya terhadap sukriut-sukriut itu. Ditambah lagi, belakangan ini dia juga mendengar desas-desus dari pengawas dinding pengaman bahwa ada hewan baru yang lebih besar dari urksa yang mengintai Desa Maynuf.  

"Populasi desa kita semakin menipis. Hanya tersisa tiga puluh laki-laki dan dua puluh perempuan di desa ini. Dua puluh di antara populasi itu sudah bukan usia produktif. Kita perlu meningkatkan populasi desa dan meningkatkan keamanan. Tapi dengan jumlah warga yang semakin menipis, aku khawatir Blirp dan Nena akan jadi generasi manusia terakhir yang berjuang di desa ini."

DormantWhere stories live. Discover now