Jejak Avonturir [1]

75 15 1
                                    

Hari-H pun datang. Ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, auditorium Fukurodani telah dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu penampilan klub sastra. Pengunjung malam itu beragam. Mulai dari siswa-siswi Fukurodani sendiri sampai siswa dari sekolah lain. Dari anak SD sampai alumni, juga beberapa guru yang masih tinggal di sekolah. Banyak juga kerabat klub sastra yang datang.

Acara itu dibuka dengan penampilan musikalisasi puisi. Konoha menjadi salah satu pengiringnya. Setelah itu, Kaori dan Ketua klub yang bertugas menjadi pembawa acara pun masuk ke panggung untuk memberikan ucapan selamat datang pada para penonton dan sedikit intermezo.

Acara terus berlanjut sampai pembacaan puisi pertama oleh anak kelas satu.

Menurut rundown acara, Bokuto akan menjadi pembaca puisi yang terakhir, tepat setelah pembacaan cerpen.

Konoha cemberut. Dikarenakan sifat seenaknya sendiri milik Bokuto, satu-satunya puisi yang tidak diketahui Konoha adalah puisi Akaashi. (Tampaknya yang mengetahui puisi Akaashi hanya Akaashi, Bokuto, Ketua, tim penata cahaya, dan tim penata rias).

Tck, dasar bocah itu. Padahal itu puisi Akaashi, tapi Bokuto memperlakukan puisi itu seolah buatannya, memperlakukannya bagai barang tidak ternilai yang tidak boleh dilihat rakyat jelata. Parahnya lagi, kalau keinginannya tidak dituruti, entah apa yang akan dilakukan Bokuto. Karena itu, untuk menghindari masalah, ketua pun setuju dengan permintaan konyol Bokuto. Dan, melihat ketua dapat meng-handle Bokuto seorang diri dengan baik, tampaknya tidak ada yang harus dikhawatirkan.

Akaashi juga tidak terlihat khawatir. Dia tetap tenang dan kalem seperti biasa. Awalnya, memang, seperti semua orang, Akaashi kaget dengan keanehan Bokuto. Tapi setahu Konoha, anak dengan pandangan super-serius itu cepat terbiasa dengan Bokuto. Akaashi bahkan tidak mempermasalahkan perihal Bokuto yang tidak mau latihan di hadapannya, padahal, sekali lagi, itu puisinya sendiri. Seolah, Akaashi sangat percaya Bokuto bisa melampaui ekspektasi semua orang.

Oh. Kebetulan, si pembuat puisi mendekat dan berdiri di sampingnya. Mereka ada di samping panggung sekarang, melihat penampilan pembacaan cerpen.

"Mana Bokuto?" tanya Konoha. Entah sejak kapan Akaashi dan Bokuto jadi satu paket. Setiap ada Akaashi selalu ada Bokuto, begitu pula sebaliknya.

"Sedang di ruang ganti. Bokuto-san akan siap sebentar lagi."

Konoha melipat tangan di dada dan melirik Akaashi. "Dia masih tidak mau mengatakan apa pun soal puisimu bahkan sampai sekarang?"

"Begitulah. Dia tidak pernah mau membicarakannya."

Akaashi menjawab dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, Konoha berani bersumpah dia sempat melihat ada sesuatu yang lain di mata Akaashi. Apa itu kecemasan? Bukan. Itu lebih seperti... rasa tidak sabar? Akaashi tidak sabar melihat penampilan Bokuto?

Tak lama kemudian, Konoha pun tahu Akaashi benar-benar tidak sabar, karena ketika Bokuto naik ke panggung dalam keadaan lampu padam setelah menyapa mereka secara singkat, mata Akaashi bercahaya. Jemarinya bertaut gelisah.

Konoha mendesah. Yah, menyebalkan mengakuinya, namun Bokuto selalu punya pengaruh seperti ini pada semua orang.

Lampu sorot menyala, menyoroti tepat pada Bokuto yang bediri di tengah panggung. Sebuah perkamen sewarna kopi berada di tangannya. Memakai kaos dua lapis compang-camping dan celana selutut. Rambutnya berantakan, wajahnya memakai sedikit riasan yang membuatnya tampak lusuh.

Saat Bokuto mulai membaca, suaranya menggema ke setiap sudut auditorium.

Haikyuu!!! BOKUAKA Klub Sastra! AUWhere stories live. Discover now