Prolog [1]

206 24 2
                                    

Akaashi Keiji sudah membaca banyak hal. Ia telah membaca banyak buku sastra, baik klasik maupun modern, baik lokal maupun terjemahan, dari yang super-fenomenal sampai picisan, baik prosa maupun puisi. Ia suka buku-buku itu. Selalu bisa menjadi teman dalam kesendirian yang memang dibutuhkan, sebab ia lebih menikmati sunyi dibandingkan keramaian. Mengajaknya berselancar dalam dunia baru yang terbentuk sempurna imajinasinya.

Ia suka prosa, sebab setiap kisah pasti memiliki pesan menarik yang disampaikan penulisnya. Ia juga suka puisi, sebab terdapat begitu banyak makna tersirat dalam setiap kata. Terkadang, pesan dan makna dalam sastra disampaikan begitu gamblang. Namun terkadang butuh berkali-kali membaca untuk dapat menemukannya. Dan tantangan untuk menemukan keduanya menjadi hal yang akan selalu Akaashi tunggu.

Kegemarannya membaca tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar. Sejak masuk SMP, sejak seorang guru sastra mengenalkannya pada dunia mengarang, Akaashi bukan lagi hanya menjadi penikmat. Ia mulai belajar pencipta.

Prosa-prosa pendek dan puisi-puisinya pun mulai memenuhi buku catatan dan semakin lama semakin baik. Bahkan, salah satu puisi yang ia buat untuk tugas di pelajaran sastra mendapatkan predikat sebagai puisi terbaik.

Intinya, Akaashi sudah terbiasa menulis. Karena itu, ketika di SMA ia mendapatkan tugas untuk membuat puisi yang nantinya akan dibacakan dalam acara ulang tahun klub sastra, ia tidak merasa kesulitan.

Atau setidaknya itulah yang ia kira.

Di klub sastra yang Akaashi ikuti, ada seorang siswa kelas dua yang sangat... berisik dan bersemangat. Sebagai seorang aktor, ia sangat baik. Ia bisa menunjukkan berbagai macam ekspresi yang meyakinkan. Selain itu, dikarenakan betapa sensitif dan mudah terpengaruhnya ia, akting yang ia lakukan di panggung pun terasa begitu tulus dan menghayati. Dengan mata emas bersinar, rambut abu-abu-hitam norak, dan senyum lebarnya yang terkenal, ia bisa membuat semua orang menaruh perhatian padanya. Bokuto Koutarou. Salah satu aktor terbaik di klub sastra, sekaligus orang yang bertanggung jawab atas ketidakmampuan Akaashi membuat puisi.

Bagaimana bisa itu terjadi?

Yah. Semuanya dimulai sejak pembagian tugas ditetapkan.

Setelah kelas selesai, anggota klub sastra mengagendakan rapat besar untuk membahas acara ulang tahun klub yang akan diadakan sebulan lagi. Setelah beberapa hari sebelumnya membentuk divisi dan menetapkan apa saja yang akan ditampilkan, mereka pun mulai menentukan pembagian mengenai siapa saja yang akan andil dalam penampilan.

Ah, untuk catatan, tema penampilan tahun ini adalah Perjalanan dan Kehidupan. Klub sastra sepakat untuk menyajikan musikalisasi puisi dari penulis-penulis terkenal, pembacaan cerpen yang disertai sejumput teatrikal, pembacaan beberapa puisi, serta drama sepanjang 30 menit.

Tiga siswa membuat puisi, dipasangkan dengan tiga siswa membaca puisi. Satu pembuat cerpen, satu pembaca, dua untuk teatrikal. Sepuluh orang untuk empat kali musikalisasi puisi. Serta empat orang untuk drama. Yang lainnya akan mengurus hal-hal lain seperti properti, latar, dan kostum.

"Baiklah, itu tadi peran yang akan kalian lakukan masing-masing. Fokuslah pada tugas kalian dan berikan yang terbaik," kata ketua klub di depan semua anggota. "Ada pertanyaan?"

Bokuto Koutarou mengangkat tangan.

Ketua klub menghela napas pelan, seolah tahu Bokuto akan protes. "Ya, Bokuto?"

"Kenapa aku tidak berperan dalam drama?" tanya Bokuto sambil cemberut. "Aku ingin berperan! Aku ingin jadi orang yang paling lama tampil di panggung, bukannya berdiri diam empat menit hanya untuk membaca!"

Akaashi dan seluruh anggota klub yang lain tahu jika Bokuto suka jadi pusat perhatian. Dia suka jadi tokoh utama. Dengan potensi yang dimilikinya, itu bisa dimengerti sih. Menjadi tokoh sampingan saja sudah membuatnya kesal. Dan sekarang, dia malah sama sekali tidak dimasukkan.

Ketua klub menghela napas lagi, jauh lebih kasar dari sebelumnya. "Sudah kubilang kita akan memainkan cerita seorang ibu dan ketiga anaknya. Kau tidak cocok untuk semua tokoh di cerita ini. Selain itu, kita punya tradisi untuk acara ulang tahun klub. Setiap tokoh dalam drama harus diperankan oleh kelas tiga. Kau sudah tahu soal itu."

Dan selama seharian itu, Bokuto pundung di bawah meja sambil menggumamkan, "Aku ingin cepat kelas tiga," berkali-kali.

Akaashi sebenarnya ingin mengabaikannya. Sayangnya... sayangnya, Bokuto Koutarou-lah yang mendapatkan tugas untuk membaca puisi buatan Akaashi.

Sumpah, dari semua anggota klub sastra yang begini banyaknya, kenapa harus Bokuto?!

Akaashi tidak tahu ini kutukan atau malah anugerah.

Ugh. Bagaimana ya. Akaashi jadi merasa bersalah, meskipun akal sehatnya amat sangat tahu, bukan salahnya Bokuto tidak bisa berperan dalam drama. Tapi, Akaashi tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa bertanggungjawab.

"Lupakan saja dia," kata suara seseorang.

Mata Akaashi yang sejak tadi masih menatap punggung Bokuto, beralih pada Konoha Akinori sedang menyeringai padanya. Sejauh yang Akaashi tahu, Konoha sekelas dengan Bokuto.

"Dia akan kembali baik dengan sendirinya. Kalau kau khawatir keadaannya akan membuatnya tidak bisa membaca puisimu dengan baik, bisa kupastikan kau tidak perlu cemas."

Akaashi tahu itu. Lagipula, mana mungkin Bokuto pundung sebulan penuh? ----Eh, tunggu. Apa mungkin Bokuto bisa pundung sebulan penuh? Tidak, tidak, tidak. Begitu-begitu Bokuto masih orang biasa kok. Mana mungkin ada orang yang, bahkan jika itu Bokuto, bisa bertahan di emo-mode selama sebulan, kan?

.....kan?

Ah sial.

Satu hal. Akaashi tidak mengkhawatirkan puisinya akan dibaca dengan buruk oleh Bokuto. Hanya saja, keadaan ini seolah mengisyaratkan jika puisi Akaashi-lah yang membuat Bokuto pundung, padahal tidak sama sekali. Keadaan ini seolah mengatakan jika puisi Akaashi lebih rendah dibandingkan drama yang akan dimainkan para kelas tiga, karena itu Bokuto seperti itu.

Pemikiran itu tidak lagi membuat Akaashi merasa bertanggungjawab. Kini ia merasa begitu tersulut karena diremehkan. Yang benar saja. Bokuto kira Akaashi seburuk itu? Akaashi mungkin bukan yang terbaik dan masih punya banyak kekurangan. Tapi, pengalaman dan dedikasinya dengan sastra tidak dapat diremehkan!

Karena itu, Akaashi melangkahkan kakinya menuju Bokuto yang ada di bawah meja. Ia berjongkok agar bisa bertatapan dengan Bokuto.

"Bokuto-san."

Bokuto yang menyembunyikan kepalanya dalam lipatan tangan mengintip. "Hm...?"

"Kau mungkin hanya akan mendapatkan waktu kurang dari lima menit untuk tampil di panggung. Tapi, bukan berarti waktu yang singkat itu bisa menghalangimu untuk menjadi pusat perhatian."

Bokuto akhirnya mengangkat kepalanya, mulai tertarik, menatap Akaashi dengan mata bulatnya yang besar.

"Kita harus menunjukkan bahwa penampilan lima menit bisa mengalahkan penampilan tiga puluh menit penuh. Curilah sorotan dari acara utama dengan kesempatanmu yang sedikit. Jika kau bisa melakukannya, kau akan semakin dikenal dan diingat orang-orang."

Akaashi merasa tidak enak pada para senpai karena mengatakan itu, tapi perasaan itu langsung hilang begitu melihat mata Bokuto yang mulai bersinar.

"Selain itu, tidak seperti dialog empat orang yang akan dilakukan para senpai dalam drama, saat kau membaca puisi, di panggung tidak akan ada orang lain. Kau akan menguasai panggung sendirian. Semua mata akan tertuju sepenuhnya padamu."

Dengan begitu, Bokuto langsung keluar dari goa persembunyiannya dan berdiri tegak. "Kau benar Agashiii!"

"Yang benar Akaashi." Entah sudah berapa kali Bokuto salah menyebut nama Akaashi, hingga akhir-akhir ini Akaashi tahu jika penyebutan salah itu ternyata disengaja.

Sebagai respon, Bokuto justru tertawa keras dengan dada membusung dan kedua tangan berkacak pinggang. "Aku akan melakukannya!!!" Ia menatap Akaashi dengan senyum lebar. "Kita akan melakukannya."

Saat itu, Akaashi membalas senyum Bokuto, sama sekali belum menyadari jika langkahnya membuat Bokuto kembali bersemangat adalah tindakan bodoh.

Haikyuu!!! BOKUAKA Klub Sastra! AUWhere stories live. Discover now