Pacar

193 43 9
                                    

Oke. Fine. Ini udah keterlaluan.

Kipas yang sedari tadi kugunakan untuk menghilangkan rasa gerah semakin tidak terlihat fungsinya. Aku melongokkan kepala dan melihat ke jejeran bangku dimana sebagian besar tamu undangan duduk. Ayah dan Bunda yang sempat melihatku melambaikan tangan ringan. Tanpa perlu membalas aku kembali sibuk mengipasi wajahku.

Kepala Sekolah masih saja terus asyik berbicara tentang rasa bangga terhadap prestasi murid-muridnya. Aku berharap cuap-cuapnya bisa cepat selesai. Toh, semua siswa, eh, alumni sudah dipanggil untuk diberikan ijazah dan tassel sudah berpindah posisi.

"Pak Darmawan mau sampai kapan sih ngomong di atas?"

Aku mendengar sebuah tanya dari arah kiriku. Senyumku merekah mendengar ada yang menyuarakan hal yang sama.

Entah pertanyaan itu terucap terlalu lantang atau Pak Darmawan memiliki indera keenam berupa pendengaran super, pria parun baya yang terkenal dengan kemeja batiknya itu segera menyudahi pidato perpisahan.

Aku mendengar dengkusan kelegaan dari sebagian besar alumni SMK Wiyata Mandiri. Termsuk juga diriku sendiri. Aku sudah lelah terus duduk selama satu jam lebih sejak tasselku berpindah posisi. Dan sepertinya, tamu undangan juga merasakan kelegaan yang sama. Tentu saja, karena acara berikutnya adalah ramah tamah. Acara yang selalu dinantikan semua tamu undangan.

"Ri, kamu mau foto-foto dulu nggak?" tanya Septi yang duduk di sebelah kananku.

Aku mengangguk. "Iya, dong. Tapi entar nunggu selesai foto-foto sama Ayah-Bunda, ya."

Septi balas mengangguk. Dia lalu berpaling dan menanyakan hal yang sama kepada teman sebelah kanannya.

Sementara aku masih mengipasi wajah sambil sesekali mengutak-atik ponsel Samsung J5 yang sempat kumasukkan ke saku rok batikku.

"Kak Adhit datang?" tanya Septi membuatku kaget.

Aku mendelik kesal sementara Septi tertawa cekikikan.

"Nggak tahu. Tapi gue udah ngasih tahu dari kemaren-kemaren, kalau hari ini gue wisudaan."

"Dia pasti datang." Septi tersenyum yakin.

"Kok lo yakin, sih?" tanyaku sangsi. Soalnya sudah sejak semalam Kak Adhit sama seklai nggak bisa dihubungi.

"Yakin dong. Kan hari ini pacarnya yang diwisuda." Septi menggodaku sambil mengangkat alisnya.

Mau tak mau aku tertawa lirih.

Yup.

Aku dan Kak Adhit resmi pacaran. Kejadian saat aku nembak dia udah dua tahun berlalu. Dan ini justru menjadi bahan ejekan Bang Reyhan untukku. Dibilangnya aku kecentilan karena nembak cowok duluan.

Heleh, padahal dia aja yang nggak punya nyali. Aku tahu Bang Reyhan udah lama naksir temen kampusnya, tapi nggak berani ngomong karena takut ditolak.

Kak Adhit yang saat itu membawa dua gelang makrameku tidak berkata apapun soal pernyataan perasaanku. Dia diam tak bersuara selama perjalanan pulang ke rumah. Aku juga sama diamnya, bukan karena merasa sedih tertolak tetapi karena merasa malu atas pengakuanku sendiri. Sepanjang jalan aku hanya merutuki diriku sendiri.

Dia mengantarku tepat sampai ke depan rumah. Kebetulan Bang Reyhan juga sudah pulang dan memanggilnya. Tapi Kak Adhit tidak menjawab. Dia hanya menatapku sebentar lalu pulang ke rumahnya yang memang berbeda blok saja.

Sepanjang malam itu, aku mogok makan berat. Kuhubungi nomor Kak Adhit, malah disambungkan ke pesan suara. Kukirim BBM, pesannya nggak juga berubah jadi R. Aku memilih untuk mendekam di kamar. Padahal Bang Reyhan ngajak aku keluar mau beli martabak telor spesial.

My Heart is Reserved (COMPLETE)Where stories live. Discover now