Hi, Jibeom!

56 9 2
                                    

🔍. 1127 words.





Ingatannya masih jelas betul, jemari mungil itu terbuka lebar menunjukkan telapak sempit ketika lawan bicara menanyakan nama.

"Hai! Aku Jibeom,"  ucapnya diiring senyum lucu yang ia cetak di bibir pecah. "Kim - Ji - Beom,"

Berdasar sosok yang ingatan gambarkan, tidak sulit membayangkan tanpa perlu kembali ke masa bahagia itu.

Mata bulat beriris pekat, dihias binar redup bintang yang sering ia lihat bersama ayah dimalam hari. Surai gelap, sangat lembut hingga akan ikut berayun kecil tiap kali menggerakkan kepala. Tangan mungil memeluk erat boneka beruang cokelat berpita merah di leher, boneka yang selalu membantu sang pemilik terlelap.

Dan bibir pucat itu, bagian kesukaannya. Bibir yang mengukir kurva manis meski dunia sering kali tak berbaik hati. Bibir yang mencipta lubang lucu di pipi gembil, dampingi senyum.

Di ingatannya, Kim Jibeom adalah makhluk paling sempurna.

Kekeh kecil tak ia tahan mendengar cara bocah di hadapnya mengeja nama. "Hai, Jibeom. Aku Jaehyun," ia membalas. "Bong - Jae - Hyun,"

Ketika itu ia sedang temani ibunya bekerja. Tidak benar menemani, sang ibu memintanya untuk menunggu sementara beliau melakukan tugas hingga jam kerja berakhir.

Hingga kini ia masih datang saat luang, menjadi sukarelawan untuk lansia di daerah yang sulit dijangkau atau terkadang sekadar menghibur pasien kecil di rumah sakit.

Ia ingat harinya. Para orang dewasa berseragam putih kesana kemari, menyibukkan diri menjaga senyum di setiap bibir anak-anak.

Awalnya tidak rasa aneh, ia hanya berdiam memperhatikan. Namun temukan satu-satunya kamar sepi. Tak ada seorang pun yang menaruh lirik pada pintu cokelat bertulis 133 tersebut.

Kenapa?

Begitu kira-kira pikirnya saat itu.

Ia tidak tahu bahwa miliki rasa penasaran yang tinggi, namun ia tahu kakinya melangkah.

Kini ibunya memang tak pernah lagi meminta ditemani, ia hanya... ingin saja?

Setidaknya ia pikir begitu.

Ah, ia tidak dapat pastikan bagaimana akhirnya mereka bertemu. Pikirannya terlalu sibuk menyimpan memori siapa si manis itu.

Ia pun tidak dapat pastikan bagaimana akhirnya mereka saling berbicara. Pikirannya terlalu sibuk menyimpan memori suara si manis itu.

"Mau mewarnai juga?" Begitu tanyanya setelah membiarkan ruangan kembali hening selama beberapa menit, menyodorkan krayon biru muda yang ia genggam.

Malamnya Jaehyun pulang bertangan buah beberapa lembar kertas hasil kerjanya dan si manis.

Bocah kamar inap 133 itu sangat suka mewarnai. Berdasarkan informasi yang Jaehyun ingat, ibunya seorang guru lukis di sebuah sekolah seni. Itu mengapa ia tidak pernah melihat wanita berstatus ibu si manis. Beliau selalu kembali pada malam hari, saat jam kerja ibunya sendiri telah selesai.

Si lesung pipi juga sangat menyukai sepeda. Jaehyun ingat, ketika ia dengan semangat bercerita saat pulang kelak, ibunya akan memberinya hadiah sepeda dan krayon baru.

"Tapi aku tidak bisa mengendarai sepeda," tuturnya kala itu dengan raut sendu.

Oh tidak! Jaehyun tidak dapat biarkan wajah si manis tanpa senyum! "Aku ajari nanti,"

Pai Apel : Mostly Bongbeom lolOù les histoires vivent. Découvrez maintenant