Aku melangkah sendiri menuju ruang makan, bibi Nam izin pergi ke ruangan lain tadi. Alhasil aku yahh..aku harus menghadapi ini sendiri, memang seharusnya begitu.

Dari tempatku berdiri aku bisa melihat tiga orang yang sangat kukenal, tentu saja itu adalah ayah, ibu dan Yoonoh, dan satu orang lagi....cantik

Di tertawa dengan anggunnya, lelaki cantik itu seketika menoleh, menubrukkan iris kelamnya pada iris kecokelatan milikku. Aku terhenyak untuk beberapa saat, menyelam pada binar hitam yang menenangkan itu. Setelah kulihat, aku tau mengapa Yoonoh jatuh hati padanya...dia cantik.

Kutangkap ia sepertinya sedikit terkejut dengan kehadiranku, sesaat setelah itu ia menunduk memutus kontak mata kami. Aku menghela napas, dan melanjutkan jalan. Suara pantofelku menggema, saat itu pula mereka semua baru menyadari kehadiranku. Yoonoh tersenyum tipis padaku, tetapi aku tidak berniat membalasnya sedikitpun, tidak setelah menemukan tatapan sinis yang dilayangkan ayah padaku, juga ibu dengan tatapan sulit diartikan.

“Masih ingat pulang rupanya kau Jung Jaehyun?” pertanyaan sarkas itu dilayangkan, bahkan saat aku belum menyentuh kursi.

“Mengapa tidak sekalian saja kau tinggal disana selamanya Jung?”

Niatku begitu ayah. Namun, putra kesayanganmu mengundangku, kalau saja aku sudah tidak ingat bahwa dia masih saudara kembarku mungkin aku juga tak akan memenuhi permintaannya.

Semuanya hening, dan aku harus membiarkan diriku menjadi pusat perhatian termasuk lelaki cantik yang ku tebak adalah calon kakak iparku, dia menatapku tetapi aku tidak tau apa artinya tatapan sendu itu.

Aku menghela napas, aku sudah terbiasa dengan ini. Dan ini tidak ada apa-apanya. Inginku balas tetapi sepertinya itu tak akan berguna.

“Sudah ayah, aku yang mengundang Jaehyun kesini. Ini masa-masa terpentingku, jadi kupikir adikku harus berada disini bersama kita,” kata Yoonoh menengahi.

Bagus setidaknya masih ada yang menganggapku meski aku sebenarnya tak berharap. Apalagi ibu yang sedari tadi hanya diam, tidak ada pembelaan atau minimal pelukan hangat untuk menyambutku yang sejujurnya jauh di dalam hatiku, aku mengharapkannya, atau minimalnya lagi ucapan 'selamat datang' saja.

Ah..begini ternyata cara penyambutan mereka untuk putra bungsu di rumah ini.

“Duduk Jae, selamat datang. Ah, perkenalkan ini Lee Taeyong calon istriku. Dan Taeyongie maaf atas ketidaknyamananmu ya, ini adikku yang pernah kuceritakan padamu.” Dia melempar senyum manis padaku, sesaat aku terpanah alih-alih memikirkan ucapan ayah yang sedikit menusuk. Dia mengulurkan tangannya padaku tanpa ragu, tatapan sendu itu berubah menjadi hangat yang menyambutku.

Yoonoh, aku ingin jujur....milikmu sempurna. Dia cantik sekali.

“Hai Jae, aku Lee Taeyong, Yoonoh pernah bercerita tentangmu. Dan aku senang kau mau datang malam ini,” katanya begitu ramah, aku tersadar dari acara lamunanku yang menatapnya lamat-lamat, segera aku berdehem kecil untuk mengalihkan rasa gugupku, kemudian kujabat tangan halusnya, tak lupa senyum tipis, meski moodku sudah berantakan. Rasanya tidak adil kalau lelaki manis yang tidak tau apa-apa dihadapanku ini, ikut terkena sasaran sikap dinginku akibat moodku yang terlanjur kacau.

Akhirnya makan malam berjalan lancar dengan diselingi canda tawa hangat, tentu aku yang hanya menjadi pendengar yang baik disana. Ayah dan ibu tak sekalipun menanyakan keadaan atau bahkan kehidupanku selama di Amsterdam, mereka hanya menghiraukan prestasi Yoonoh selama ini, sesekali membicarakan rencana pernikahan, kemudian membanggakan segala kesempurnaan saudara kembarku itu dihadapan Taeyong yang sesekali menatapku dengan tatapan rrr...iba? Atau mungkin khawatir? Entahlah apa aku salah tangkap, tetapi Taeyong memang sesekali menatapku, ia akan tersenyum samar ketika irisnya bertubrukan denganku.

Redamancy [JAEYONG]Where stories live. Discover now