"Kamu mencari Bu Faza?" Seseorang bertanya.

Aku mengangguk. Perempuan itu menunjukkan sebuah pintu lain dari beberapa pintu yang tertutup. "Di sana, beliau di ruang khusus anak piano."

Wow, ada ruang dalam ruang? That's crazy. Ketika aku menghampiri ruangan itu, Galan baru masuk. Aku senang ia mempertimbangkan timing karena perkataanku. Laki-laki itu mengamatiku dan aku menoleh, tersenyum tipis. Sebelum akhirnya benar-benar masuk. Ketika aku masuk, beberapa anak yang sedang duduk mendengarkan ceramah langsung menoleh. Dan di sana Bu Faza, berdiri di dekat papan tulis. Ketika melihatku beliau langsung tersenyum.

"Liesel Iskan. Akhirnya kamu datang."

Aku mencoba tersenyum. Ini tidak terduga. Apa yang guru ini coba lakukan? Beberapa anak langsung berbisik-bisik dan menatapku tak percaya.

"She's real. Gue kira Bu Faza cuma bohong supaya kita semakin giat berlatih."

Aku mendekati Bu Faza saat beliau memperkenalkan. "Ini Liesel Iskan. Mulai hari ini dia akan mengajar kalian—"

"What?" Aku menoleh dan memotong perkataannya.

"Kamu bilang berhenti bermain kan? Berarti kamu akan jadi pembimbing. Bukan begitu, Liesel?"

Semua orang terpekik mendengar kata berhenti keluar dari mulut Bu Faza.

"It's not like that, Bu Faza."

"Lalu?"

"Aku hanya... ingin berhenti."

"Kalau gitu coba mainkan satu lagu saja di grand piano ruang depan, di hadapan semua orang—setelah itu kamu bisa bilang berhenti sekali lagi."

Aku memejamkan mata.

"Anggap saja sebagai perpisahan. Semua orang di sini tahu kamu terbaik, Liesel. Beri mereka kesan yang baik agar mereka semangat sebelum kamu benar-benar berhenti."

"Iya, itu benar." kata salah seorang anak membuatku tidak bisa memprotes.

Bu Faza tersenyum penuh kemenangan. Beliau mempersilahkan aku keluar ruangan menuju grand piano di depan dan seketika aku menyadari bahwa ada Galan di depan. Kenapa aku jadi gugup? Galan menatapku ketika aku keluar ruangan. Aku mengalihkan pandangan darinya dan tatapanku tertumbuk pada sebuah grand piano berwarna silver indah. Astaga, sekolah ini benar-benar kaya. Aku tahu piano ini harganya sangat mahal. Suara yang dikeluarkan begitu jernih. Mungkin aku akan suka jika berlatih—

Sial, apa aku baru bilang berlatih?

Sekarang semua anak piano berkerubut mengelilingiku dan piano indah ini tetapi dengan jarak yang lumayan aman. Aku mulai berpikir semua hal tak masuk akal.

Kenapa aku harus menyerah atas piano karena permintaan ayahku?

Dia tidak bisa mengacaukan hidupku.

Piano adalah peninggalan Bunda.

"Bagaimana Liesel?" tanya Bu Faza karena sejak tadi aku hanya termenung sambil memegang piano itu.

"So beautiful." kataku sambil tersenyum, padahal aku tahu beliau tidak menanyakan pendapatku soal piano ini.

"Kamu ingin memainkannya untuk kita?"

Memainkannya? Mungkin aku memang perlu mencari tahu sejernih apa suara yang dihasilkan piano ini. Aku akan berpikir lagi setelah mengkonfirmasi— "Tentu saja."

Bu Faza tersenyum.

Aku duduk di bangku piano dan menyesuaikan tingginya agar pas untukku. Aku membuka penutupnya dan memandangi tuts tutsnya yang mengkilat. Apa belum ada yang memainkan piano ini? Kenapa masih sangat bagus?

Teett. Aku menekan asal. Suaranya yang asal tetapi jernih membuatku tersenyum lebar. "Perfect." bisikku pada diriku sendiri. Aku mulai berpikir apa yang harus kumainkan. Piano sebagus ini tidak boleh dimainkan asal-asalan. Aku ingin piano ini berteman denganku dan bangga denganku. Well, kalian pikir aku pasti gila. Tapi selama ini aku memang selalu berpikir kalau piano adalah benda yang punya perasaan. Aku harus memberi kesan terbaik pada pertemuan pertama kami.

Tiba-tiba sebuah lagu muncul begitu saja dalam benakku dan aku pikir lagu itu sempurna. Itu lagu yang kumainkan saat aku menang pertama kali dalam kompetisi piano. Bukan lagu terbaik tetapi lagu yang paling berkesan karena itu lagu yang Bunda latih selama berbulan-bulan. Aku bahkan masih menghafal partiturnya sampai sekarang.

Buddy, siap-siap ya...

Aku menekan tuts demi tuts dan semakin lama menyadari bahwa piano ini sempurna. Sangat sempurna. Aku tersenyum lebar. Well, buddy. Kamu seharusnya dimainkan di setiap kompetisi, bukan begitu? Kenapa kamu sangat terbatas? Bisakah aku memilikimu di apartemen? Apa kalau aku bilang ke Paman Sam atau ayahku memberikan akan membelikan piano ini?

Tunggu, jelas jangan bilang ke ayah. Dia akan sangat besar kepala. Dia mungkin benar-benar berpikir kalau aku ingin membeli karena ingin giat berlatih untuk acara bersama presiden itu. Lagipula kenapa dia ikut serta dalam acara seperti itu? Apa dia orang penting? Itu sebabnya dia sangat sibuk hingga tak bisa mengunjungiku di Paris selama lima tahun? Bahkan tidak bisa menontonku dalam kompetisi? Dia mungkin tidak pernah tahu kalau aku punya bakat seperti Bunda. Aku bahkan masih ingat dengan jelas bagaimana dia memalingkan muka dan langsung pergi begitu saja saat aku main piano. Dia—sangat melukai hatiku. Apa dia pikir aku tidak bisa sebaik Bunda? Tidak layak menjadi anaknya?

Tunggu, acara itu mungkin bisa jadi caraku buat membuktikan diri.

Benar. Ayahku ada di sana. Aku ada di sana. Perfect. Akan kutunjukkan padanya bahwa bukan aku yang tidak layak menjadi anaknya, tapi dia yang tidak layak menjadi ayahku. Selamanya dia tidak layak menjadi ayahku!

Pemikiran itu membuatku berhenti menekan tuts secara tiba-tiba. Aku memandang pandangan ke depan, ke arah tembok yang sekarang menunjukkan dengan jelas gambaran di pikiranku. Sekarang, aku tahu ambisiku.

Well,

Suara tepuk tangan membuatku menoleh pada audiensi yang sejak tadi kulupakan. Aku menatap Bu Faza sambil tersenyum. Mulai sekarang, aku punya ambisi. Ambisi.

*****

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now