Arum juga ikut berhenti di depan pintu kamarnya sendiri dan tidak berniat untuk membukanya. Ia menatap bayangan itu perlahan-lahan bergerak ke arah lain. Arum menajamkan pendengarannya, berusaha menerka apa yang dilakukan Mas Danu. Beberapa saat, Arum mendengar geraman pelan, sebelum semuanya kembali tenang. Arum mengerutkan keningnya. Ia paham suara geraman dan gesekan kain itu. Apa Mas Danu terluka?

Pemikiran itu membuat Arum memberanikan diri untuk membuka pintu kamarnya. Matanya langsung bertemu dengan Mas Danu yang sudah tak lagi memakai atasannya. Bekas lebam mengerikan terlihat di pertengahan dadanya dan perutnya. Tatapan Arum perlahan naik dan mendapati sudut bibir Mas Danu juga luka dan membiru. Arum merasakan jantungnya berhenti berdetak. Ia tidak seharusnya merasa khawatir seperti ini. Pria itu jahat -manusia terjahat yang pernah ia tahu.

"Kenapa?" tanya Mas Danu dingin, ketika melihat Arum mematung di depan pintu kamarnya sendiri.

"Terluka lagi?" tanya Arum datar, berusaha untuk tidak peduli.

"Khawatir?" ejek Danu sembari mendengus pelan dan berusaha mengobati luka di sudut bibirnya.

"Ndak, Arum berharap Mas cepat mati," balas Arum dingin, lalu berjalan ke arah dapur, untuk menutupi kegelisahannya yang mana sebenarnya sudah dicium oleh Danu sejak awal.

Danu menatap datar ke arah Arum, lalu kembali berusaha mengobati lukanya tanpa bantuan cermin. Danu sudah terlalu jengkel untuk sekadar mencari cermin yang bisa membantunya mengobati luka. Jadilah ia berusaha mengira-ngira di mana luka tersebut sembari sesekali menggeram. Tiba-tiba saja, kapas di tangannya diraih begitu saja. Dagunya kini dinaikkan dan juga ditahan oleh tangan yang lembut dan feminin. Luka Danu diusap lembut oleh Arum yang tengah membungkuk di hadapannya. Rambut panjang wanita itu menyapu lembut kulitnya yang kasar.

Tanpa berpikit panjang, Danu langsung meraih pinggang Arum dan menarik wanita itu agar duduk di pangkuannya. Sebelum Arum sempat berpikir atau pun menolak, bibir pria itu sudah berlabuh di bibirnya. Kali ini, Mas Danu tidak sungkan menciumnya. Ciuman itu bahkan dilakukan ketika Arum dalam keadaan sadar sepenuhnya. Danu menahan tengkuk Arum dan terus mekumat bibir istrinya itu. Arum mengeluh sembari bergeliat, berusaha lepas dari pelukan pria itu.

Namun, Mas Danu langsung menangkap kedua tangannya dan tubuhnya direbahkan di sofa tanpa seizin Arum. Kedua tangan Arum disatukan di atas kepalanya dengan cengkeraman kuat Mas Danu.

"M-Mas... lepas..." ucap Arum dengan nafasnya yang berat. Ia terus menggerakkan kakinya gelisah, berusaha menyingkirkan Mas Danu dari atas tubuhnya.

"Sedikit tidak adil bukan, jika kamu membenci saya untuk hal yang belum sepenuhnya benar," gumam Danu dengan nada dalam dan tatapan datarnya. Arum bisa mendengarkan kekecewaaan yang kental terdengar dari suara pria itu. "Jika kamu memang membenci saya, Arum, maka saya harus benar-benar menjadi brengsek untuk itu. Setidaknya itu adil untuk saya."

Arum kembali dibungkam dengan ciuman agresif Mas Danu yang mengungkapkan seberapa frustrasinya pria itu padanya. Tangan pria itu bergerak menyingkap gaun tidur Arum hingga ke pangkal pahanya. Arum mengeluh di sepanjang ciuman keduanya. Tanpa bisa Arum cegah, Mas Danu sudah menyentuhnya tanpa seizinnya.

Semakin larut, sentuhan ringan berubah menjadi sesuatu yang intim dan panas. Keintiman yang dipaksakan ini membuat Arum ingin menangis. Bukan karena Mas Danu mrnyakitinya, tetapi karena Arum merasa dirinya seperti pelacur, sebab terkadang ia menyukai apa yang dilakukan Mas Danu padanya. Arum sungguh tidak bisa mengontrol perasaan itu dan perasaan itulah yang membuatnya merasa semakin kotor.

Malam itu adalah malam yang panjang, sebab Arum tidak lagi memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri. Tangan kuat pria itu menahan tangannya, mencegah Arum menolak Mas Danu. Dan pria itu melakukan apa pun yang ia inginkan. Dan Arum tidak memiliki pilihan lain selain menerimanya dengan segala kegetiran dalam hatinya.

***

"Arum... hei..." bujuk Danu perlahan, sembari memeluk tubuh Arum yang gemetar dan mengecup pipi wanita itu. Arum berbaring membelakangi pria itu, segera setelah Mas Danu selesai menyenangkan dirinya. Mas Danu tidak mengasarinya sama sekali ketika mereka bercinta, tetapi pria itu tidak memberinya kontrol apa pun. Sepanjang percintaan itu, tangan Arum akan ditahan di kedua sisi tubuhnya atau pun di atas kepalanya sendiri. Arum membenci itu, sebab ia merasa kecil dan tak berdaya.

"Arum... apa Mas menyakiti kamu?" tanya Danu perlahan sembari menenggelamkan wajahnya di leher wanita itu. "Mana yang sakit?"

Arum tetap diam dan memilih untuk mengabaikan Mas Danu. Danu menyadari Arum marah padanya, tetapi Danu sungguh tidak bisa mengontrol dirinya saat itu. Setiap kali ia penat dan marah, Danu memang selalu melampaiskannya dengan malam yang hangat dan melelahkan. Dan kali ini, hanya Arum yang bisa memberikan itu padanya. Danu tahu ia egois, karena sudah menekan Arum hanya untuk kesenangannya sendiri. Dan kali ini, Arum memang pantas membencinya.

"Kamu ndak menyukainya?" bisik Danu lagi sembari mengusap punggung tangan Arum. Sengaja ia gunakan aksen kota pelabuhan, untuk mengikis jarak tak kasat mata antara dirinya dan Arum.

"Lain kali ndak akan seperti ini, Arum," bujuk Danu lagi sembari menarik Arum semakin masuk ke dalam pelukannya. Tubuhnya yang besar membuat Arum tampak begitu kecil dan rapuh.

"Lain kali?" bisik Arum dengan matanya yany mulai berair.

"Arum... ini wajar..." bujuk Mas Danu lagi sembari menatap tepat di kedua mata Arum. Tangan besar pria itu menangkup wajahnya dengan lembut. "Apa yang kita lakukan ini wajar, Arum. Kita sudah menikah."

"Tidak untuk Arum," bisik Arum lemah dan kembali menitikkan air matanya.

"Arum... kamu harus percaya pada saya," ucap Danu frustrasi sembari menyandarkan kepalanya di lekuk leher wanita itu. Arum memilih untuk tetap diam sembari menolehkan wajahnya ke arah lain. Hal itu, membuat hati Danu diremas hebat.

Danu mencengkeram dua pundak Arum. Namun, kali ini, cengkeraman pria itu tidak bermaksud memaksa, melainkan seperti memohon. "Tolong... jangan seperti ini. Saya tidak memiliki siapa pun lagi selain kamu. Jika kamu harus ke neraka sekali pun, saya akan mengikuti kamu, Arum."

"Arum ingin sendirian," bisik Arum lagi, membuat Danu menyadari ia tidak lagi bisa meluluhkan hati Arum yang sudah membeku.

Danu terdiam lama, sebelum akhirnya helaan nafas terdengar dari pria itu. Danu bangkit dari tubuh Arum, membuat wanita itu langsung membalikkan tubuhnya, membelakanginya. Danu menatap getir ke arah punggung sempit Arum.

"Mas selalu mencintai kamu, Arum," gumam Danu perlahan.

"Arum selalu membenci Mas," balas Arum tanpa keraguan sedikit pun.

TBC...

Hai bestie, selamat menikmati. Jangan bosan-bosan yaw

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now