4. Pertanda Akan Badai Besar

11 5 0
                                    

"Jadi? Maksudmu?" seru Ariani tak percaya.

Giana membekap mulut Ariani dengan cepat. Ia melotot pada sang kakak yang menarik perhatian yang tidak diperlukan. "Untuk saat ini lakukan saja seperti itu. Jangan mengatakan pada kedua polisi itu atau bahkan polisi lainnya bahwa ayah sudah menghilang selama 3 hari," pinta Giana serius.

Ariani mengerutkan dahinya bingung. "Kenapa?"

Giana mengangkat bahunya. "Entahlah. Aku hanya merasa bahwa itu tak boleh dikatakan. Sepertinya Papa terlibat dengan sesuatu yang buruk."

Mendengar spekulasi Giana, Ariani tak dapat menutupi kepanikannya. "Bila memang seperti itu, justru kita harus mengatakan hal yang sebenarnya pada para polisi itu," sergah Ariani tak setuju dengan pemikiran Giana. "Bagaimana bila Papa sedang terluka dan membutuhkan pertolongan kita?" bujuk Ariani yang tak mengerti jalan pikiran Giana.

Giana menggeleng lemah. "Sepertinya bila kita mengatakan hal itu, itu hanya akan menjadi bumerang untuk Papa. Aku tak merasa para polisi itu akan berpihak pada kita. Bisa saja dengan kita mengatakan bahwa Papa sudah menghilang selama tiga hari malah akan memojokkan keadaan Papa sekarang," jelas Giana. Ia sebenarnya tak mengerti mengapa hati kecilnya tak ingin memberitahukan seluruh kebenarannya pada kedua polisi tersebut. Namun, setelah menyuarakan pikiran yang tiba-tiba tercetus itu, ia merasa masuk akal.

"Tapi, Dek, kalau Papa sekarang dalam situasi sulit dan membutuhkan pertolongan bagaimana?" desak Ariani dengan wajah pasi.

Giana termenung. Benar apa yang dikatakan Ariani. Namun, entah mengapa ia merasa polisi tak akan berpihak pada mereka. Oleh karena itu, ia merasa semuanya akan menjadi sia-sia. Untuk saat ini, ia rasa menyimpan hal itu adalah yang terbaik.

Giana menatap Ariani dengan pandangan nanar. "Kemungkinan besar kita harus mempersiapkan untuk hal yang terburuk, Kak," lirihnya pelan—amat sangat pelan hingga menyerupai bisikan. Akan tetapi, setiap perkataannya itu terdengar jelas di telinga Ariani hingga membuat seluruh tubuhnya dingin.

Giana mengetuk layar ponselnya dua kali hingga memunculkan wallpaper kelam yang bertuliskan "Life is so Hard". Gadis itu mendesah pelan. "Kakak harus kembali," ujarnya pelan dengan nada tenang. "Kuharap kakak melakukan apa yang kuminta. Kurasa ini lebih baik untuk kita bertiga," lanjutnya lagi sebelum bangkit dari duduknya.

Ariani tertegun. Ia tahu bahwa terkadang adiknya itu bisa bersikap sangat dingin. Namun, sebelumnya ia tak pernah melihatnya secara langsung. Memang benar apa kata ayah mereka, Giana yang tumbuh tanpa kasih sayang yang cukup menjadi sedikit berbeda dengan remaja pada umumnya. Hidup mereka yang sulit membuat gadis kecil itu terpaksa dewasa lebih cepat dibandingkan teman-teman seusianya. Walau—entah itu kabar baik atau buruk—Giana bisa dengan cepat menilai situasi dan membuat keputusan selogis mungkin.

Giana mendesah panjang. Ia sudah menyampaikan larangannya pada sang kakak. Walau tentu saja ia mendapatkan pertentangan dari idenya, Giana yakin ialah yang memenangkan pertentangan tersebut. Bohong bila ia mengatakan ia tak khawatir pada ayahnya yang kini menghilang entah di mana. Ia bahkan tak tahu apakah sang ayah masih hidup ataukah sudah menjadi seonggok mayat. Namun, yang terpenting saat ini adalah dirinya dan sang kakak yang jelas masih hidup dan sehat.

Badai yang besar pasti akan segera menghantam.

Gadis itu berjalan menyusuri trotoar tanpa menghiraukan sang surya yang gagah serta siap membakar kulit siapa saja yang ada di bawahnya. Peluh bercucuran dari keningnya, ia seka menggunakan lengan jaket berwarna abu-abunya. Helaan napas panjang sekali lagi mengalir dari bibirnya.

"Sepertinya kamu punya beban hidup yang berat, ya?" tegur sebuah suara bariton tepat di belakangnya Giana.

Giana menghentikan ayunan langkahnya dan menoleh ke belakang. Tampak seorang pria yang seusia kakaknya sedang menatapnya heran sambil tersenyum ramah. "Tak ada hidup yang tak berat," balas Giana tak acuh. "Hidup semua orang itu berat menurut mereka masing-masing," lanjutnya lagi dengan tenang.

Pemuda itu terkekeh pelan. Tak menyangka mendapatkan jawaban yang seperti itu dari seorang gadis SMA. "Kamu cukup dewasa dan pintar untuk gadis seusiamu," pujinya tulus. "Mau ke mana?"

Giana menggeleng. Ia tak tahu harus ke mana. Pulang ke rumah pun rasanya sudah tak nyaman lagi. Giana menepuk jidatnya keras. Ia melupakan hal yang paling penting dan mendesak saat ini.

Ah! Omong-omong soal rumah. Jangka waktu mereka sisa hari ini dan besok! Jika mereka tidak bisa mendapatkan rumah, mereka harus hidup menggelandang selama beberapa hari sebelum mendapatkan rumah.

Giana mengutuk dirinya sendiri. Betapa bodohnya ia sampai bisa melupakan hal sepenting itu? Memang ia tolol sekali.

"Hei! Hei!" Pemuda itu menghentikan tangan ramping Giana yang tengah memukuli kepalanya. "Ada masalah mendesak apa sampai kamu seperti ini? Bila kamu mengatakannya mungkin aku bisa menawarkan solusi padamu," usulnya dengan ramah.

Giana memandang pemuda itu dengan tatapan curiga. Matanya menyusuri wajah lelaki itu dengan lekat. Tampangnya mencurigakan dan ia juga kelewat ramah. Pasti orang aneh! Simpul Giana setelah meneliti pemuda itu cukup lama.

"Hei! Aku bukan orang aneh," protes pemuda itu tersinggung. "Aku benar-benar ingin menawarkan bantuan padamu. Sungguh. Aku tak berniat mencelakaimu atau apapun itu yang buruk," tuturnya dengan berapi-api.

Akan tetapi, di mata Giana hal itu malah semakin mencurigakan. Gadis itu pun memutuskan untuk segera angkat kaki dari sana. Gadis berjaket abu-abu itu segera memberhentikan angkutan umum yang menuju ke rumahnya. Ia harus mulai mencari rumah baru untuk mereka tempati karena ia tahu bahwa Ariani tak akan sempat mencari rumah baru untik mereka.

Gadis berkuncir kuda dengan kulit kuning langsat itu memutuskan turun agak jauh dari rumahnya untuk melihat sekitar apakah ada rumah yang sedang disewakan ataukah tidak. Matanya berbinar saat mendapati sebuah rumah kecil berukuran 9 x 4 berwarna putih gading yang disewakan. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera meraih ponsel yang ada di dalam tas dan memotret nomor kontak serta rumah tersebut dari tampak depan dan samping. Tak lupa, ia pun mengabadikan bentuk rumah serta sekitarnya dalam bentuk video.

Kemudian, ia kembali melanjutkan perjalanannya ke bagian agak belakang dari rumahnya. Tepat seperti dugaannya, ia menemukan rumah berukuran 6 x 6 yang disewakan. Rumah minimalis berwarna abu-abu itu terlihat bagus. Di depannya ada sebuah teras kecil yang sudah dikeramik. Giana mengambil ponsel pintarnya dan mulai memotret serta memvideokan rumah tersebut.

Giana tersenyum puas. "Masalah rumah sudah beres. Tinggal kakak saja mau pilih yang mana," desahnya lega. Sudah saatnya ia pulang ke rumah untuk membereskan barang- barang mereka. Bila tidak, ia berani jamin, barang-barang mereka pasti dibuang dengan kejam oleh mantan pemilik rumah yang mata duitan itu.

Walau ia merasa sedikit sayang hendak meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama 5 tahun itu, tetapi ia juga merasa sedikit lega bisa lepas dari pemilik rumah bak rentenir itu. Pria itu sungguh kejam luar biasa. Ia menyewakan rumah yang kondisinya benar-benar kacau balau pada mereka dengan harga yang tak bisa dibilang murah. Selain itu, seluruh biaya perbaikan rumah ditanggung oleh keluarganya dengan alasan bahwa merekalah yang tinggal di sana dan menikmati fasilitasnya. Jadi, memperbaiki kerusakan di sana-sini bukanlah kewajiban Ridwan, melainkan Angga selaku penyewa. Tentu saja ayahnya yang bodoh dan baik hati itu terima saja diperlakukan seperti itu.

Giana menggeleng kuat mengusir rasa kesal yang kembali menyapa saat mengingat kondisi rumah ini saat pertama kali mereka datang. Saat itu, ia yang masih kecil menangis dan mengatakan bahwa ia tak ingin tinggal di kandang babi. Tentu saja, saat itu ia dimarahi tanpa ampun oleh Angga. Angga memberitahunya bahwa rumah ini akan menjadi tempat tinggal mereka untuk ke depannya. Maka dari itu, mereka bertiga harus bekerja sama untuk menata tempat ini agar menjadi nyaman untuk ditinggali. Giana yang masih kecil menurut dan senang-senang saja, apalagi ia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan ayah dan kakaknya bila merek membersihkan rumah bersama. Hari itu menjadi hari yang membahagiakan sekaligus mengesalkan untuk Giana kecil.


-----------------------
19.05.2023
Bagi yang mau baca lebih cepat bisa langsung meluncur ke KK ya.
Thank you.

Who's the Killer [ON GOING]Where stories live. Discover now