1965

133 14 7
                                    


Cerita ini hanyalah fiksi belaka.
Penulis menggunakan Christopher Bang dan Hwang Hyujin sebagai visualisasi karakter.
Kinda 🔞
Warn!Typo
Christopher Bang as Krishna Aswatama.
Hwang Hyunjin as Haris Putra Surya.



“Haris.”                   

Mata lelaki elok itu menyorot kosong gelas anggur di hadapannya. Gelas itu masih penuh, bulir-bulir embunnya ia biarkan merosot turun membasahi taplak meja. Kesadarannya bak mengambang di tengah ruangan, panggilan dan ramai tempat pelacuran sama sekali tak mengusik lamunnya.

“Haris!”

Nyaris lelaki itu terlonjak ketika suara itu naik beberapa oktaf sekaligus, ia menoleh lengkap dengan muka masamnya. Lelaki yang dipanggil Haris itu dapati sang sahabat melempar wajah kesal dengan kedua pipi menggembung, lebih terlihat menggemaskan daripada menakutkan. “Kenapa lagi,sih?” Jinandra namanya, ia menarik kursi di seberang meja menghadap Haris lalu duduk di sana.

Haris menyapu poninya ke belakang tellinga, sebuah gerakan sederhana namun nampak indah ketika Haris lakukan. Wajahnya memang terlampau cantik untuk seorang lelaki, dengan hidung tajam walau dirinya seorang pribumi. Bibir tebal dengan warna merah muda alami juga menambah kesan menggoda, menarik untuk dicicipi. Kedua mata sipitnya selalu jatuhkan sayu untuk mengundang birahi.

“Menunggu disetubuhi, apa lagi?” Jawabnya enteng sembari mengendikkan bahu. Jinandra memberi tatapan yang seolah menyuarakan “Halah asu, bohongnya terlalu jelas.”

“Krishna, ya?” Gelas yang lama tak tersentuh akhirnya menyapa bibir ranum Haris. Cairan kemerahan itu kini menuruni kerongkongan hingga ke lambung, menyisakan sensasi hangat di dadanya.

“Dia sudah mati, kalaupun hidup dia akan segera mati.” Haris menjawab dengan nada yang datar, terkesan tak peduli. 

Jinandra memandang sahabatnya penuh simpati, Haris tak pernah mengakui perasaannya. Entah gengsinya yang terlalu tinggi atau karena sadar diri. Jinandra hapal betul gerak-gerik Haris, pandangan matanya selalu kemanamana ketika ia melontar dusta.

“Jinan,” yang dipanggil menoleh, helaan napas keluar lebih dulu sebelum senyum ramah yang dibuat-buat munenyusul. “Aku sedang tidak melayani orang lain selain Akihiko-san malam ini, Tuan. Aku rasa semua orang tahu itu.” Pria berkepala tiga itu mendecak, “Dua kali lipat.” Tawarnya. Jinandra masih dengan senyum manisnya, “Kalau begitu malam ini akan menjadi kali terakhir penismu menggauli lubang pelacur, Tuan.” Haris terkekeh mendengar kalimat Jinandra, pun ekspresi pria itu yang cukup menghiburnya.

“Sepertinya ia punya obsesi terhadapmu.” Ucap Haris begitu si pria pergi sambil memaki. “Sangat,” Jinandra memijit pangkal hidungnya. “Aku tak akan pernah mau berciuman dengan mulut baunya walaupun ia membayar sepuluh kali lipat.”  

“Kau jatuh cinta pada Akihiko-san, Ji? Kupikir kau lacur professional yang tak akan melibatkan hati kala bercinta. Paras mantan perwira Jepang memang seleramu, huh?”

Seribu Sembilan ratus enam puluh lima, dua puluh tahun sejak teks proklamasi dibacakan, dua puluh tahun sejak Nusantara dinyatakan merdeka. Merdeka katanya, nyatanya kemerdekaan bangsa sendiri tak serta-merta berpengaruh pada manusia hina semacam Haris Putra Surya. Pelacur tetaplah seorang pelacur, menjajakan tubuh untuk bertahan hidup. 

Dua puluh tahun sejak pengibaran sang saka merah putih di kediaman Presiden Soekarno, dipikir rakyat akan sejahtera tanpa penjajah dan peperangan.

Faktanya, kini derita karena jerat ekonomi, terutama orang macam Haris dan Jinandra yang tiap malam rela menggauli ataupun digauli. Pria atau wanita bukanlah masalah, sama-sama membayar, sama-sama dilayani. Walaupun yang membayar lebih banyak akan diprioritaskan. 

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Mar 06, 2022 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

Komunis dan Pelacur [CHANJIN]Onde histórias criam vida. Descubra agora