Keajaiban

173 9 2
                                    

Kenapa kakek harus tahu semua itu sekarang? Parahnya, bukan Pak Gio atau aku yang mengatakan itu sendiri. Sudah bisa dipastikan, bahwa itu ulah Nia. Entah apa yang ingin ia buktikan pada kakek dan aku, seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang sedang berpihak padanya.

Dada terasa bergemuruh dan sesak. Ingin segera meluapkan emosi pada perempuan itu.

Tanpa permisi aku berbalik dan melangkah sembari mengepalkan kedua tangan ini. Bersiap menampar wajah siluman ulat bulu itu, bila perlu kurobek mulutnya yang tidak punya malu!

“Dan kamu Salma ....” Suara kakek seketika menghentikan langkah ini.

“Iya, Kek,” sahutku saat kembali menghadapnya.

“Sudah saatnya mengakhiri sandiwaramu menjadi istri Gio,” balasnya tanpa menoleh ke arahku, “pergilah, sudah saatnya kamu terbebas dari sandiwara yang dibuat oleh Gio,” sambungnya.

Dari mana Kakek tahu kami bersandiwara tentang itu?

Tubuh ini kembali mematung, terasa kaku dan mati rasa. Hanya hitungan menit, hati ini bertubi-tubi mendapat hantaman beruba kekecewaan. Bahkan, baru beberapa menit yang lalu aku berusaha meyakinkan diri ini untuk bertahan dan memperjuangkannya. Namun, aku tak memiliki kesempatan itu.

Kini, kakek bahkan mengusirku. Apa ini artinya aku harus pergi dari sini dan dari kehidupan mereka?

“Gio bisa jelasin semua, Kek. Ini salah Gio bu—“

Dengan cepat kakek menghentikan ucapan Pak Gio. Ia seolah tak ingin mendengar jawaban atau alasan apa pun darinya. Dan aku hanya bisa menyimak sembari menata hati agar tetap tenang.

“Kakek tidak mau apa pun lagi selain pertanggungjawaban kamu atas masalah ini Gio,” jelas kakek terdengar parau.

“Gio tahu, Kek. Makanya dengar Gio ngomong dulu dong, jangan gini caranya. Selama ini Gio selalu dengerin dan nurut sama semua kemauan Kakek, terus kapan Kakek mau ngedengerin kemauan Gio?” ungkap Pak Gio dengan nada tinggi. Napas Pak Gio naik turun, tampak jelas di dada bidangnya yang kembang-kempis.

“Cukup, Pak Gio! Kamu enggak perlu ngomong kasar seperti itu sama Kakek, beliau lebih tua dari Anda. Beliau adalah Kakek sekaligus orang tua Anda, tak sepantasnya Pak Gio berbicara dengan nada membentak. Bukankah sudah sepantasnya jika Anda memang harus menuruti setiap perintah dan nasehatnya?” Aku berusaha menghentikan pertikaian antara dua orang laki-laki di hadapanku.

“Untuk itu, akhiri semua ini. Dan benar kata Kakek, sudah saatnya saya terbebas dari sandiwara yang telah diciptakan di rumah ini!” imbuhku tegas.

Semoga kakek sadar, jika dirinya juga ikut andil dalam sandiwara ini. Jika dirinya tidak berpura-pura sakit hanya untuk menikahkan aku dan Pak Gio, mungkin semua ini tidak terjadi. Dan mungkin aku tak akan pernah mencintai cucunya, bahkan tak merasakan rasa sakit ini.

“Salma, kamu—“ ucap Pak Gio terpotong saat aku membalikkan tubuh ini membelakangi mereka. Berusaha menyembunyikan air mata yang tak sanggup lagi kubendung.

“Saya permisi.” Tanpa menunggu jawaban dua laki-laki itu, aku pergi dari sana.

Bergegas membawa koper berisi pakaianku yang belum sempat aku masukkan ke kamar. Sekarang hanya satu tujuanku, yaitu pulang ke Bandung.

“Sakit, ‘kan? Makanya, kalau mimpi itu jangan ketinggian,” celoteh seseorang saat aku membuka pintu. Siapa lagi kalau bukan sekretaris murahan itu. Seketika langkah ini terhenti. Aku terpaku, berusaha mencerna ucapan wanita di belakangku.

“Kamu sama Gio itu, seperti langit sama bumi. Jauuuuh ... ibarat Pak Gio beli sesuatu di warung enggak sreg, kalau enggak ditukar ya dibuang,” imbuhnya. Ucapan perempuan itu terdengar puas. Ia seolah menertawai semua yang tengah terjadi padaku.

Menikah dengan MajikanWhere stories live. Discover now