[Bagian 01-1] Kehilangan & Pertemuan

27.8K 1.2K 90
                                    

Pandanganku mengarah pada langit. Dalam hati, aku seringkali bertanya. Apa matahari pernah menyerah untuk menembus pertahanan awan pekat yang selalu menggantung di langit Dimecres? Dimecres adalah bagian dari Kerajaan Brillantor, tempat aku tinggal dan dilahirkan. Satu dari tujuh bagian kerajaan di mana matahari kesulitan untuk menjadi penguasa siang.

Para tetua mengatakan bahwa kerajaan ini dikutuk penyihir, tak layak mendapat cahaya hangat itu. Tetapi kami, rakyat Brillantor yang penduduknya mencapai ratusan ribu jiwa, tidak berpangku tangan meratapi nasib dan memilih berjuang menghidupi diri serta keluarga. Seperti keseharianku mengunjungi Hutan Likuads yang terletak di dekat perbatasan antara Dimecres dan Dimarts—salah satu bagian di kerajaan cantik ini.

Tujuan utamaku datang ke Hutan Likuads adalah untuk mencari tanaman herbal. Kebanyakan, orang yang berkunjung ke hutan ini adalah seorang tabib sepertiku atau seorang pemburu. Jadi, meskipun hutan ini terlihat agak angker karena pepohonan besar yang menaungi semakin menghalau berkas sinar matahari di atas awan, aku seringkali bertemu dengan beberapa orang dari desaku. Namun, sepertinya tidak untuk hari ini. Mungkin karena hari yang lebih gelap dari biasanya menyebabkan berkurangnya jumlah orang yang masuk ke dalam hutan. Hanya seorang perempuan paruh baya yang kutemui, itu pun di mulut hutan saat dia hendak keluar.

Beberapa langkah sebelum memasuki hutan, aku mulai disambut pepohonan besar dengan diameter batang yang kutaksir ukurannya melebihi tiga lengan orang dewasa jika melingkar memeluknya. Mereka—para pohon itu—berdiri di sela-sela rimbunnya semak belukar. Jika siang sudah terlewat, cahaya akan semakin minim. Apalagi aku masuk hutan menjelang sore. Meski begitu, kakiku tak gentar melangkah untuk mendapatkan tanaman demi kesembuhan pasienku. Ibuku yang seorang tabib istana selalu menasihati agar aku tak takut pada apa pun, bahkan pada kematian. Karena sejatinya kami para tabib ditakdirkan untuk berjuang menyelamatkan orang-orang yang hampir dijemput ajal.

"Aku tahu kau ada di sana," tegurku dengan tegas.

Aku berhenti tepat di depan Pohon Blau, makhluk hidup yang sejak dua puluh menit lalu kucari keberadaannya. Sebenarnya tidak sulit menemukannya. Hanya saja daun yang kugunakan sebagai penyembuh adalah daun yang usianya cukup muda, biasanya terdapat di bagian atas pohon atau di pengujung ranting-ranting kecil. Kami para tabib selalu berlomba-lomba lebih dulu memetiknya. Warnanya biru muda, kontras dengan rimbunan daun lainnya yang berwarna biru tua. Karena sudah menemukan tujuan tanaman herbalku hari ini, aku berhenti lalu menyisir sekitar karena merasa sudah diamati kurang lebih lima belas menit.

"Apa kau penyihir?" tembakku langsung, jelas tak dijawab. Banyak mitos mengatakan bahwa penyihir bersembunyi dalam pekatnya hutan, walau sebenarnya hutan yang dimaksud bukanlah hutan ini melainkan Hutan Driad.

"Atau perampok? Maaf, kau salah sasaran. Aku hanya seorang tabib yang bahkan tidak membawa emas atau perak sekeping pun."

Dengan cuek, kuletakkan keranjang rajut akarku ke rerumputan dan mulai menyingkap lengan baju. Aku mendongak memandangi salah satu dahan Pohon Blau sambil berkacak pinggang. Aku harus mulai memanjat agar sampai rumah sebelum matahari tenggelam.

Belum sedetik menyiapkan kuda-kuda untuk memanjat, seseorang menyergapku dari belakang. Dalam sekejap, gerakanku terkunci. Awalnya aku tegang, tetapi ketika aroma mint tubuhnya menyeruak ke indra penciumanku, bahuku melemas lega.

"Sudahlah, Prama. Mau sampai kapan dalam posisi seperti ini?" tanyaku sambil menyentuh lengannya yang melingkar di pundakku.

"Terlalu banyak celah, Afsheen," dia mengendurkan dekapannya hingga kami bersemuka. Rambut peraknya melambai disapu desiran angin. "Kau harus lebih berhati-hati, apalagi dalam hutan seperti ini," tegurnya lagi, kali ini sambil menggelengkan kepala.

The Darkest Ray : AfsheenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang