2. Halo, Dunia Baru!

1.3K 47 0
                                    


Malam pertama kami habiskan di kamarku. Kamar masa mudaku yang segera kutinggalkan keesokan harinya. Hidup yang benar-benar baru akan kujalani bersama lelaki yang kupanggil suami.

"Bawa aja semua yang ada di kamar! Semua ini punya kamu." Ayah membantuku mengemas semua barang-barangku. Mencabut paksa rak yang menempel di tembok untuk kubawa. Mempreteli ranjang besi dan mengemasnya untuk kubawa. Dengan dibantu dana dari Ayah, kami sudah menyewa sebuah rumah kontrakan kecil dekat dengan tempatku bekerja.

"Jangan nangis. Kan ada aku," ucap suamiku mencoba menenangkanku ketika ia melihatku menangis di kursi penumpang mobil pick up yang mengantarkan kami dan barang-barangku ke kontrakan baru kami.

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum dan menggenggam tangan kurusnya. Aku bukan bersedih. Hanya saja memang bukan ini yang kubayangkan terjadi di hari kedua pernikahan. Lupakan soal bulan madu. Itu adalah kemewahan yang belum bisa kami miliki.

Tidak terlalu lama untukku kemudian menyadari, bahwa pada saat aku memimpikan tentang pernikahan dan behagia selama-lamanya, aku lupa memikirkan banyak hal lainnya.

Bulan-bulan awal pernikahan terlewati dengan banyak air mata dan teriakan, selain episode bercinta. Ternyata meskipun aku merasa bahwa aku sudah sangat mengenal suamiku sebelum kami menikah, banyak hal yang baru kupelajari setelah tinggal seatap dengannya.

Aku tidak ingat lagi tepatnya kenapa, tetapi aku ingat cangkir yang pecah di tengah malam. Aku pun ingat jeritan dan bantingan badanku melepaskan kekesalan yang entah kenapa. Hingga suamiku yang terlihat begitu lemah dan lelah, terduduk menangis di pintu kamar mandi dan mengatakan tidak sanggup lagi menghadapiku.

Belum lagi kenyataan bahwa aku tidak diterima pulang ke rumah dan tidak bisa bertemu dengan keluargaku, membuatku merasa adil apabila kami juga tidak perlu repot sering mengunjungi ibunya yang tinggal lumayan jauh dari kami.

"Kamu nyesel nikah sama aku karena keluarga aku miskin?" Kalimat ini sering sekali keluar dari mulut suamiku ketika aku sedang malas bertemu dengan keluarganya. Kalimat yang selalu memancing kemarahanku.

"Ga usah ngaco deh kamu kalo ngomong!" balasku sambil biasanya masuk ke kamar dan membanting pintu. Namun, biasanya masalah akan selesai begitu saja bila dia menyusulku dan memelukku sambil meminta maaf. Selalu begitu.

Mungkin memang ada yang salah pada diriku. Mudah sekali bagiku untuk berpikir negatif tentang segala apa yang dilakukannya. Tidak menyukai bila dia menghabiskan waktu terlalu lama dengan teman-temannya. Apalagi jika keluar rumah cukup lama tanpa mengabariku. Sementara dia paling benci dicurigai dan merasa dituduh.

Bagaimana pernikahan kami bisa bertahan, adalah sebuah misteri yang kelak kami harus temukan sendiri jawabannya.

Satu lagi masalah yang kabarnya adalah penyebab perceraian terbesar. Ekonomi. Uang. Ah! Hal yang dahulu sama sekali luput dari anganku soal pernikahan.

"Suami kamu tuh jadi kerjanya apa? Kamu punya uang ga?" Pertanyaan yang paling sering diajukan Ayah saat menelepon maupun mengunjungi kami. Pertanyaan yang lebih sering kujawab hanya dengan senyuman.

Dulu aku pikir suamiku sama denganku. Kami tidak akan bisa bekerja dengan pola kerja kantoran yang normal. Makanya aku lebih memilih kerja sambilan sebagai pegawai lepas, sambil berjualan ini dan itu.

Sementara suamiku bekerja dengan caranya sendiri, yang tidak mudah dipahami oleh Ayahku. Dia mencari proyek disain dari internet, yang sudah dijalaninya sejak sebelum menikah bersama kawan-kawannya. Kebanyakan kliennya berasal dari luar negeri. Penghasilannya pun cenderung cukup besar bila sedang ada proyek. Bila tidak, maka dia akan mencoba mencari pekerjaan dengan bantuan kawan-kawannya. Aku pernah bertanya mengapa dia tidak mencari pekerjaan tetap? Tidak bisa, katanya. Tidak sesuai dengan dirinya.

Tidak memiliki pekerjaan tetap tentu berarti tidak ada penghasilan tetap. Sekalipun saat ada satu proyek yang berhasil dimenangkannya dengan hasil yang besar, ada kalanya selama beberapa waktu tidak ada pemasukan lagi sama sekali. Aku pernah menangis sesenggukan pada suatu sore, karena tidak memiliki uang untuk sekedar jajan chiki kesukaanku. Konyol dan kekanakan sekali.

Ah, sungguh masa-masa penyesuaian yang akan selalu menjadi kenangan. Tahun-tahun selanjutnya dalam pernikahan kami berjalan dengan cukup baik. Buktinya kami bisa bertahan selama ini. Pertengkaran memang selalu menjadi bagiannya. Aku masih punya masalahku sendiri yang belum juga bisa kuatasi. Pengendalian diri dan emosiku masih sangat buruk.

Jika dulu saat masih sekolah dan kuliah aku bisa berteriak-teriak dan memaki orang saat bertengkar atau kesal, maka kadang kebiasaan buruk itu muncul. Mudah sekali bagiku untuk berteriak setiap bertengkar dengan suamiku.

"Kamu ga boleh marah sama aku! Aku ga suka dimarahin sama kamu! Kamu ga boleh ngebentak aku!" Semua seringnya kuucapkan sambil menjerit. Suamiku akan sangat marah kemudian.

"Kamu juga harusnya tau aku ga bisa dikurangajarin kaya begini!" Sungguh terkadang aku ciut apabila suamiku terpancing marah. Dia sama sekali tidak pernah memukulku. Pantang baginya menyakitiku. Dia lebih memilih menyakiti dirinya sendiri. Memukul kepalanya dengan penuh amarah dan kesal.

Kemudian aku akan menangis kencang. Terkadang kami akan menghabiskan berjam-jam penuh argumen dan saling menyakiti. Namun, biasanya akhirnya selalu sama. Dia meminta maaf dan memelukku. Aku yang terisak di pelukannya. Tidak jarang berakhir dengan sesi bercinta yang panas. Bukankah make up sex adalah yang terbaik?

Sebagai istri mungkin aku bukan satu-satunya, yang setiap stress dan bertengkar akan kelepasan berucap, "Ya udah kita cerai aja!"

Entah sudah berapa kali kalimat itu keluar dari mulutku. Untung saja bahwa apabila perempuan yang mengucapkan maka tidak ada hukum yang menjatuhinya. Kurasa suamiku juga paham. Maka setiap kali terucap, dia cuma akan menjerit frustasi sambil meninggalkanku begitu saja. Kemudian kembali beberapa saat kemudian dan memelukku.

Memiliki anak tidak membuatku menjadi lebih baik. Aku sering menyalahkan Ibu yang tidak pernah menjadi contoh sosok Ibu yang baik bagiku. Padahal tentu semua itu tanggung jawabku sendiri.

Suamikulah yang terlihat lebih bahagia ketika memiliki anak di usia pernikahan kami yang ketiga. Rasanya anak kami adalah hiburan terbesar baginya. Sayang sekali, semenjak kehadiran anak kami justru suamiku semakin sulit mendapatkan pekerjaan. Kurasa hal ini membuatnya tertekan dan semakin jarang berada di rumah karena berusaha mencari peluang di luar.

Ingin sekali kukatakan bahwa seharusnya aku tetap menerima suamiku apa adanya. Namun, sepertinya bukan itu yang dia rasakan dan menjadi awal neraka dalam kehidupan pernikahan kami.

Memoar Episode Luka (Tamat)Where stories live. Discover now