Katty terbelalak melihat ekspresi wajahnya yang tampak di pantulan dirinya di cermin.  Dengan sinar mata yang seolah bermimpi, rona di wajahnya, maupun bahasa tubuhnya yang seolah selalu mencari kecocokan posisi dengan Sev tanpa mereka berdua sadari, siapapun akan melihat apa yang telah terjadi di antara mereka. Bahkan bagi mata Sarah yang kuno. Tiba-tiba Katty menjadi resah. Kejengahan yang dirasakan saat meninggalkanStockley House kembali mendera.

“Ada apa lagi hm?” tanya Sev. “Aku tak suka melihat kerut di kening cantikmu itu.”

“Aku tetap merasa tidak enak, Sev, dengan Sarah, dengan Jolly. Meski aku berusaha tak peduli, tapi jauh di dasar hatiku aku tahu apa yang kita lakukan ini salah. Tinggal bersama tanpa ikatan seperti ini membuatku merasa demikian tak berharga,” desah Katty pelan. “Berada di London, tinggal bersamamu di sana mungkin memang tak terasa. Namun kembali ke rumah, aku tak bisa mengingkari bahwa aku malu kepada diriku yang seperti ini. Sev, entah sejauh apa perubahan yang kualami, namun aku tetaplah gadis kuno seperti yang dulu kau kenal.”

Sev membalikkan tubuh Katty, memeluknya erat. “Sayang, aku berjanji kita akan melakukannya dengan benar. Kita akan menikah besok bila memang itu maumu. Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa aku menunggumu cukup lama? Kau hanya perlu meyakinkan dirimu bahwa inilah yang kau inginkan seperti aku yang telah yakin bahwa ini memang sesuatu yang sangat kuinginkan. Inilah kita sekarang, Katty, kau dan aku.”

Katty menggelengkan kepalanya keras-keras dalam pelukan Sev. “Entahlah, Sev. Aku tahu bahwa inilah memang seharusnya. Namun aku tak bisa. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Aku tak bisa berpikir sama sekali.”

Sev melonggarkan pelukannya, menangkup wajah Katty dengan kedua telapak tangannya. “Apapun yang kau mau, sayangku. Aku akan selalu menunggumu, seperti yang selama ini kulakukan,” dan mencium bibir Katty dalam-dalam.

Beberapa saat kemudian, saat keduanya telah berpelukan di atas tempat tidur, Sev tiba-tiba bangkit, menggapai laci kecil yang berada di sebelah tempat Katty. Tubuhnya yang berotot dan tanpa tertutup apapun itu menggesek kulit lembut Katty setiap kali dia bergerak. Ketika kembali ke posisinya semula, sebuah kotak telah tergenggam di tangannya. Pada wajah Katty yang mendongak dengan tatapan penuh tanya, Sev tersenyum lembut dan memberikan kotak tersebut.

“Untukmu, bukalah.”

Katty sedikit gemetar ketika menerimanya. Perlahan dia membuka kotak tersebut dan mendapati sebuah cincin dengan batu safir berbentuk segi empat yang sangat familier bagi Katty. Cincin ibu Sev.

“Sev...” Katty tak sanggup meneruskan kalimatnya.

“Untukmu. Kau tahu ini kuwarisi dari ibuku. Ibuku memberikannya padaku untuk kuberikan kepada wanita yang kucintai yang akan melahirkan anak-anakku. Ketika kukatakan bahwa suatu hari aku akan menyematkannya di jarimu, ibuku berkata bahwa tak ada gadis lain yang pantas memakainya selain kamu.”

Katty menatap kotak itu dengan nanar. “Sev,” katanya dengan bibir gemetar, “Pasangkan ini di jariku.”

Sev tak menunggu undangan dua kali. Dengan sigap diambilnya benda mungil itu dan dipasangkannya di jari Katty yang gemetar. Kemudian dengan mata terpejam diciumnya buku-buku jari Katty. “Terima kasih karena mau menerimanya,” katanya lembut.

Kemudian dengan pelan dia merebahkan Katty di atas bantal. Tatapan matanya yang gelap begitu tajam hingga Katty bisa melihat betapa api yang pelan-pelan tersulut hingga akhirnya menyala dan Katty tergagap menerima serbuannya. Sev memenjara Katty dalam luapan gairah menggebu dalam pesta pora menyambut tahapan baru hubungan mereka.

Namun sayang kebahagiaan itu harus sedikit ternoda ketika Virginia menelepon keesokan harinya. Dari semua kejadian yang dialaminya tak pernah terpikirkan oleh Katty kalau Virginia akan menghubunginya di saat yang sangat tidak tepat. Saat pagi, saat dirinya asyik bergelung dalam pelukan Sev, masih setengah bermimpi oleh kemesraan yang terjadi antara mereka berdua.

The Last ChoiceOù les histoires vivent. Découvrez maintenant