Katty buru-buru melepaskan diri. “Kau keterlaluan sekali,” omelnya.

Sev terbahak-bahak.

Memenuhi janjinya Sev membawa Katty makan malam keluar.

“Kalau kau pikir aku akan langsung takluk padamu hanya karena kau puji aku gara-gara gaun ini, maka kau salah besar. Aku bukanlah Virginia maupun salah satu kelinci-kelinci pirang berdada melon yang biasa kau kencani sesukamu itu,” komentar Katty pedas pada wajah Sev yang memuji penampilannya malam itu.

“Ya ampun Katty, tidak bisakah kau menerima pujian dengan anggun layaknya seorang lady? Tapi aku sudah terbiasa dengan segala omelanmu. Jadi bila kau bersikeras untuk membuat segalanya sesulit mungkin agar aku mundur, maka kau juga salah besar. Aku akan sangat menikmati menaklukanmu,” Sev mengirimkan senyum mautnya yang mungkin akan membuat gadis lain akan meleleh. Namun Katty malah melengos.

Seperti biasa pertengkaran mereka tak pernah berlangsung lama. Sev seorang teman bicara yang menyenangkan sementara Katty memuji dirinya cukup cerdas untuk mengimbangi obrolan Sev dengan komentar-komentar yang tepat. Katty tak tahu koneksi macam apa yang digunakan Sev sehingga mereka mendapatkan meja di restoran kelas satu yang Katty tahu pasti daftar tunggunya sudah berbulan-bulan.

“Kalau begini gayamu dalam menaklukkan cewek-cewek cantik, tak heran kalau kau selalu sukses,” komentarnya sambil menikmati creme brulee yang mengilat keemasan dengan indah, disajikan dalam mangkuk-mangkuk elegan yang pasti membuat para kolektor rela merogoh kocek ratusan pound untuk memilikinya.

“Aku lupa bahwa kadang mulutmu yang pedas itu begitu menjengkelkan membuatku ingin mencekikmu,” sahut Sev gemas sambil menyesap anggur mahal yang menemani makan malam mereka.

“Demi kebaikanmu sendiri lebih baik kau selalu mengingat hal itu.”

Makan malam yang lezat disertai anggur yang bagus agaknya melancarkan lidah mereka dalam membangun suasana intim. Saat makan malam berakhir keduanya sudah saling tertawa bersama. Bahkan Katty sudah tidak memprotes ketika Sev menggenggam erat tangannya yang berada di atas meja sebelum membawanya ke bibir dan menciumnya mesra.

“Sudahkah kukatakan bahwa malam ini kau cantik sekali?” tanya Sev tiba-tiba, masih menggenggam tangan Katty.

“Meski akal sehatku mengatakan bahwa semua itu omong kosong, tapi baiklah, kuterima pujianmu. Entah mengapa malam ini aku juga untuk pertama kalinya merasa cukup cantik. Mungkin karena kau begitu tampan dan aktingmu cukup bagus menjadikanku seolah gadis yang paling beruntung karena berkencan dengan orang hebat macam kamu. Aku sudah berkali-kali mendapati tatapan iri para perempuan yang memandangi kita berdua,” kata Katty terus terang.

“Sayang, kadang kejujuranmu itu begitu menyebalkan,” Sev menyeringai. “Andai ini bukan tempat umum yang beradab, pasti sudah kubungkam mulut cantikmu itu dengan bibirku.”

Setelah makan malam Sev membawa Katty ke club yang sangat trendy dan glamour untuk berdansa. Katty belum pernah berdansa di tempat seperti itu. Dia hanya berdansa pada acara-acara sosial biasa seperti pesta natal.

“Clubnya bagus sekali,” pujinya sambil mengamati suasana ramai di sekeliling mereka. Musik yang menghentak dan energi yang terpancar dari para pengunjung begitu memacu adrenalin Katty. Di sini, dalam kilau lampu yang berpendar Katty merasa begitu muda dan bebas. “Pantas Virginia begitu memujamu bila kau sering membawanya ke tempat seperti ini. Gadis itu memang terlahir untuk berpesta.”

“Aku membawanya karena kau yang minta,” kata Sev mengingatkan. “Dan seandainya aku tahu kau juga suka pergi ke tempat seperti ini dan bukannya selalu mengkritikku dengan gaya seorang Lady dari jaman Victoria itu, aku pasti sudah menyeretmu kesini bertahun-tahun lalu.”

The Last ChoiceWhere stories live. Discover now