Katty tak memerlukan waktu lama untuk menemui koleganya. Mereka telah bekerja sama cukup lama untuk saling memahami cara kerja masing-masing. Dalam waktu singkat pekerjaan membuat ilustrasi buku panduan kesehatan untuk anak-anak itu telah menjadi miliknya, berikut juga desain sampul buku. Untuk yang terakhir ini Katty agak tidak terlalu familier namun dia berjanji akan mendiskusikannya lebih lanjut saat beberapa desain pendahuluan telah dibuatnya. Itu artinya dia masih harus bolak-balik ke London. Hal itu mengingatkannya kepada teman yang akan menyewa flatnya. Sebelum lupa Katty buru-buru menghubunginya dan membuat janji temu untuk besok sore.

Puas dengan semuanya Katty melangkah keluar gedung. Dia mksi dan masih harus sedikit berjalan untuk mendapatkan taksi dan lalu lintas teramat padat siang itu. Katty tiba di Connaught Hotel terlambat sepuluh menit dan mendapati Sev telah berada di bar tanpa menunjukkan tanda ketidak sabaran sedikitpun. Pastilah Sev sudah banyak berlatih dari cewek-ceweknya yang menganggap terlambat setengah ataupun satu jam bukanlah masalah. Para lelaki tak akan keberatan menunggu mereka.

Katty duduk menghadap Sev. “Maaf, aku kesulitan mendapat taksi. Kau sudah menunggu lama?”

Sev tersenyum. “Tidak masalah. Aku juga baru beberapa menit tiba. Mau minum apa?”

Sambil menikmati minuman mereka bertukar cerita. Sebetulnya kebanyakan Katty yang berceloteh karena Sev bukan jenis orang yang suka membicarakan pekerjaan dengan orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum. Lagipula hal itu akan sia-sia karena Katty pasti juga tak akan mengerti sedikitpun bahasa-bahasa hukum yang rumit. Sebaliknya Katty dengan antusiasme anak kecil menceritakan tentang job yang baru saja diterimanya juga tentang komisi yang baru didapatnya dari hasil ilustrasi terdahulu. Selanjutnya karena sama-sama menyadari bahwa mereka berdua kelaparan keduanya pun bergerak menuju restoran. Sev menggamit lengan Katty dengan lembut dan membawanya ke meja yang telah dia pesan.

Di meja makan Sev mengatakan kembali rencananya untuk mengantar Katty berbelanja.

“Kau pasti akan bosan sampai mati,” Katty masih berusaha menolak.

“Tidak. Kita akan meninggalkan mobil di sini dan berjalan kaki.”

“Tetapi aku akan mencoba ke Harrods atau Liberty.”

“Kenapa kita tidak coba Bond Street atau Sloane Street saja?”

Mereka sedang melangkah di anak tangga pertama hotel ketika Katty kembali menyarankan Sev untuk meninggalkannya. “Kau akan sangat membencinya Sev, jangan bilang aku belum mengingatkanmu saat kau akan jengkel dan tidak sabar ingin membunuhku. Aku kalau tidak terpaksa juga paling malas harus keluar masuk toko pakaian. Aku tidak pernah ke butik.”

Dengan keras kepala Sev meraih lengan Katty dan membimbingnya berjalan. “Kenapa tidak?”

“Karena aku tidak cantik, tidak modis....Demi Tuhan, kenapa kau tanya juga sih? Apa kepalamu perlu ditinju dulu? Masak kau tidak menyadarinya? Kau toh punya mata dan matamu tidak buta untuk melihat siapa aku.”

Sev tertawa terbahak-bahak. “Baiklah Tuan Putri, kita akan coba beberapa tempat. Aku tahu satu dua butik yang cukup bagus. Dan kau akan menyadari bahwa dalam beberapa hal kau salah. Seperti biasa.”

Katty berhenti berjalan dan memandang Sev dengan curiga. Katty tak pernah keberatan Sev tidak mengingkari kenyataan akan penampilannya yang biasa-biasa saja. Sepanjang hubungan mereka toh Sev tak pernah mempermasalahkan. Namun Katty lebih tertarik kepada hal yang lain. “Bagaimana kau tahu tentang butik?” tanyanya penasaran.

Sev kembali tergelak. “Jangan usil, Katty,” katanya dan kembali membimbingnya berjalan.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu kaca elegan, yang berhiaskan ber vas-vas bunga eksotis, lambaian scarf pada sebuah kursi mungil nan elegan, serta manekin yang mengenakan dress hitam dengan potongan luar biasa langsing.

The Last ChoiceWhere stories live. Discover now