15. sanggup atas kemenangan (atau kekalahan?)

Mulai dari awal
                                    

Saujeno buru-buru menepikan motornya di pinggir jalan, mengecek kekasihnya yang nampak hampir menangis. Senandika menatapnya sedikit terkejut. Saujeno benar-benar turun dari motornya, melepas helmnya perlahan, dan berdiri menghadapnya dengan wajah khawatir.

"Aku sayang kamu, Dika. Aku gak akan ninggalin kamu."

Senandika hanya bisa tercekat sesak. Dadanya mengingat rasa sakit hatinya dulu ketika ia ditinggal sosok laki-laki yang paling dicintainya. Dan seperti biasa, pelukan Saujeno terasa hangat seperti rumah. Senandika tersenyum di balik bahu sang kekasih, tanpa tahu pikiran buruk Saujeno terhadap dirinya.

"Kamu janji?"

"Ya, aku janji."

Pemuda itu tengah menyeringai senang, berandai-andai soal dirinya yang akan segera memiliki Elizabeth sepenuhnya dan memacari Shanon sebagai pelengkapnya. Senandika terlalu mudah untuk dibohongi, bahkan keras hatinya tak sampai menimbulkan rasa simpati.

Perasaan Senandika, bukanlah hal penting bagi Saujeno.

Perasaan Senandika, bukanlah hal penting bagi Saujeno

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau pulang sekarang? Mau saya antar?"

"Saya udah cukup ngerepotin Kak Raka dua hari ini, jadi saya pulang sendiri aja. Terima kasih banyak, Kak. Salam untuk Mami dan Papa."

"It's okay, Dika. Saya antar aja lah, mau cari cemilan juga, saya lapar. Sekalian beli buat Nara, gimana? Nara suka apa?"

"Duh, saya jadi gak enak, makin ngerepotin. Jangan repot, Kak."

"Gak apa, yuk."

Setelah Saujeno mengantarnya pulang, Senandika memutuskan untuk langsung kembali ke rumahnya karena ia pergi hanya bermodalkan izin menginap di rumah teman sejak kemarin. Ia lupa mengabari Bunda setelah apa yang dilaluinya tempo hari betul-betul membuatnya merasa trauma. Wanita itu pasti takkan mengerti dan takkan percaya meskipun Senandika menjelaskannya sampai mulutnya berbusa. Pada dasarnya, Senandika bertahan atas dasar rasa terima kasihnya pada wanita yang sudah mau mengurusnya sejak kecil itu, juga demi adik semata wayangnya.

Setelah membeli cemilan untuk Nara, Raka pun mengantar Senandika pulang. Mengucapkan terima kasih, Senandika pun beranjak memasuki rumah dengan harapan ibunya tidak berada di rumah.

Namun ternyata, di detik kakinya melangkah melewati pintu masuk, ibunya itu tengah duduk bersilang kaki sembari memasang wajah kesal.

"Masih ingat rumah, ternyata."

Senandika sontak menunduk meminta maaf. Ia lantas meletakkan tasnya di lantai sebelum berlutut di hadapan ibunya.

"Maaf, Bunda."

Plak!

Setelah satu tamparan keras mendarat di pipi Senandika, ibunya meraih kerah baju yang dikenakannya, mencengkramnya kuat.

"Jelasin, Dika. Kenapa kamu menyiram Pramudya dengan kopi panas?!"

"Aku gak sengaja, Bunda," Senandika menjawab dengan gemetar. Ia tahu jikalau pun ia jujur, ibunya tidak akan pernah percaya padanya sedikitpun. "Aku minta maaf. Aku gak sengaja."

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang