7. RUMAH MAS DANU

Start from the beginning
                                    

"Ya, jangan didoakan toh. Lagipula, hal paling buruk apa yang mungkin terjadi?" balas Mei Li lagi sembari tertawa pelan.

Arum sama-sama mendengus geli. Mei Li benar; memangnya hal paling buruk apa yang mungkin terjadi?

***

Ketika pulang dari rumah Mei Li, gerimis kecil mulai turun dan membasahi kota pelabuhan itu. Berkali-kali, ayah dan ibu Mei Li terus menahannya untuk tidak pulang, mengingat cuaca yang tidak bagus. Namun, Arum bersikeras pulang dan menolak mereka dengan sopan, sebab semakin sore dan Arum takut jika ia pulang saat matahari terbenam. Arum tidak membawa payung sama sekali, hingga membuatnya harus mematahkan daun pisang yang besar sebagai pengganti payungnya. Dengan langkah cepat, Arum berjalan di pinggir jalanan yang mulai sepi itu. Orang-orang berlari untuk berteduh, termasuk para pedagang keliling dan juga pesepeda biasa. Beberapa ada yang mengikuti Arum dengan mematahkan daun pisang lebar sebagai payung mereka.

"Arum."

Panggilan itu terdengar dari belakang tubuh Arum. Ia menoleh dan mendapati Mas Danu-lah yang memanggilnya dengan mengendarai sepeda Ayah.

"Naik, Rum," ucap Mas Danu lagi sembari memberhentikan sepedanya di samping Arum. Arum dengan segera naik di jok belakang sepeda itu, lalu membantu memayungi Mas Danu dengan daun pisangnya yang lebar. Mas Danu mengayuh sepedanya dengan sedikit tergesa, khawatir hujan turun semakin deras. Arum memeluk tubuh Mas Danu dengan erat di kala pria itu membelokkan sepedanya ke arah jalan setapak di sawah.

Daun pisang itu memang tidak membantu banyak, sebab mereka masih tetap basah di bawah guyuran hujan. Namun, Arum tidak panik atau marah. Ia malah sangat menikmati suasana ini. Arum bisa merasakan dinginnya air hujan di kulitnya. Terpaan angin di rambutnya dan tubuh hangat Mas Danu dalam pelukannya. Beberapa kali daun pisang itu memukul lembut kepala Mas Danu karena diterpa angin. Hal itu tak ayal membuat Arum tertawa lebar. Tawa Arum nyatanya juga memancing tawa Mas Danu yang tengah mengayuh sepeda.

Mas Danu melambatkan kayuhannya ketika mereka sudah sampai di rumah. Anehnya, Mas Danu malah menghentikan sepedanya di rumah pria itu sendiri, bukan di rumah Arum.

"Ayah sedang di tempat timbang, sepertinya dia menunggu hujan berhenti, karena takut terpeleset di sawah," gumam Mas Danu, berusaha meluruskan prasangka Arum. "Saya disuruh menjemput kamu, karena takutnya kamu berjalan sendirian di hujan deras ini."

"Ayah nanti pulang dengan apa, Mas?" tanya Arum khawatir.

"Ayah memakai sepeda saya. Setidaknya sepeda saya kondisinya lebih baik daripada sepeda Ayah yang ini," gumam Mas Danu lagi sembari menaikkan sepeda Ayah ke beranda. "Kamu bawa kunci rumah kamu sendiri?"

Arum menepuk kantong di gaun selututnya, lalu menggelengkan kepalanya. Mas Danu mengangguk, kemudian membuka kunci pintu rumah sederhananya itu. Dibukanya pintu itu, lalu mempersilahkan Arum masuk.

"Saya buatkan teh ya, biar hangat," ucap Mas Danu lagi sembari melenggang masuk, meninggalkan Arum yang masih mematung tidak percaya.

Tunggu. Dirinya, anak gadis, di rumah pria dewasa?!

Arum melangkah masuk perlahan ke rumah kayu yang kecil itu. Langkahnya ragu dan pikirannya berkeliaran ke mana-mana. Rumah itu sangatlah kecil hingga ruang tamu menjadi ruang tidur Mas Danu juga. Dapur ada di belakang dan tidak ada kamar mandi. Biasanya, Mas Danu akan meminjam kamar mandi di rumah Arum yang letaknya juga di belakang dan terpisah dari rumah utama. Kamar mandi itu hanya ditopang oleh serat kayu yang dijalin rapat, namun kuat.

Arum mengerutkan kening bingung. Meskipun kecil, namun rumah itu sangat tertata. Tidak ada satu pun barang yang berantakan. Arum sampai malu dibuatnya, mengingat ia jauh lebih berantakan daripada Mas Danu. Tak hanya itu, buku dan surat kabar memenuhi rumah yang kecil itu. Buku ditata dan ditumpuk, mulai dari yang tebal sampai yang paling tipis. Surat kabar pun juga ikut ditata sama rapinya.

NAMANYA ARUM.Where stories live. Discover now