Love Lethal Infect

1 1 0
                                    

Virus mematikan telah menyelimuti hampir ke seluruh negara yang ada di muka bumi. Penyebaran yang terjadi begitu cepat, membuat pemerintah dan rakyat kalang kabut.

Negara dengan julukan Macan Asia Yang Tertidur pun kini telah menjadi salah satu di antaranya ; banyak rakyat berjatuhan disebabkan virus tersebut.

Namun, ada yang aneh. Mereka tidak mati, melainkan menjadi sesosok zombi yang menularkan virus hingga penyebaran semakin cepat dan membabi buta.

Pemerintah memantau dari udara dan menyelamatkan orang-orang yang masih hidup melalui helikopter.

“Syukur tadi kita sempat masuk ke Wisma Atlet sebelum gerombolan zombi datang.” Tak henti-hentinya mereka mengucap syukur karena masih diberi kesempatan untuk berlindung.

Tim JAC sedang makan siang ketika tiba-tiba terdengar siaran darurat mengenai virus Corona yang menyerang pernapasan bermigrasi ke otak sehingga menyebabkan mutasi gelaja menjadi zombi.

Sekitar dua puluh lima orang berlindung di lantai lima Wisma Atlet.Mereka berkumpul di tengah ruangan, saling berpelukan dan menguatkan.

“Udah ada berita mengenai awal mula virus itu, Cha?” Jeruk membelah keheningan, ketakutan yang mendera membuat rekannya enggan untuk bersuara.

"Belum. Jaringan mulai melambat, makhluk itu menghancurkan tiang-tiang sinyal di beberapa tempat, aku jadi kesulitan mendapatkan kabar," jawab Chacha sembari terus mengusap punggung Arina.

Tangisan temannya sungguh mengganggu, tetapi ia harus menjaga emosi agar keadaan tidak semakin runyam.

Otak mereka bekerja keras untuk berpikir, berkelana ke banya hal di luar sana. Terutama keluarga dan orang terdekat.

“Kita tidak bisa seperti ini terus!” Tiba-tiba seorang pria berpenampilan tidak karuan berseru kencang, menimbulkan bisik-bisik menjengkelkan di ruang itu.

“Lalu harus bagaimana?" tanya seorang perempuan mengenakan jas almamater, nadanya menantang. “Di mana-mana ada makhluk itu! Kita tidak bisa memastikan apakah di lantai atas aman atau tidak. Lagi pula, memangnya kalian mau mengorbankan nyawa untuk hal yang tidak pasti? Lebih baik menunggu di sini! Dan, apabila ada yang melihat helikopter, segeralah berteriak atau beri tanda keberadaan kita!”

Setelahnya ia kembali menutup telinga dengan penyuara jemala, mengabaikan tatapan pasrah dari orang-orang di sana.

Tim JAC pula tak ingin berpangku tangan ibarat menunggu laut kering, tetapi di lain sisi berbuat sesuatu pun bagai alu pencungkil duri. Pada kejadian luar biasa yang tak ada seorang pun bisa tidur dengan aman, akankah mereka memilih dijemput ajal di Wisma Atlet atau bertindak demi kesintasan?

Atas pertimbangan habis sudah akal sehat, orang lebih mau makan-tidur sampai ke liang lahad.

Sementara itu, Arina masih meratap, Chacha lelah dengan semua, dan Jeruk lesap dari pandangan. Bukan hilang, sejujurnya. Laki-laki itu pergi ke ujung koridor dengan dinding kaca tinggi, tempat ia bisa menonton gerombolan makhluk yang tadinya bisa biasa berjalan, bisa diajak berbicara, sekarang hanya mau meraung dan menyerang. Ya, jika dibilang, mereka yang hilang kewarasan di bawah sana. Hampir sempura menulari ketidakwarasan orang-orang di sini.

Ingin Jeruk beranjak dari kenyataan dan terbang ke dunia lamunan, sebelum Chacha datang menarik kembali kesadarannya.

Laki-laki itu menggeleng. “Mana Arina?”

“Sedang di kamar. Anak itu baru bisa tidur setelah kucampuri rotinya dengan obat."

Chacha melirik Jeruk yang terlihat tak acuh, lalu ia ikut menonton pemandangan riuh rendah di luar. Benar-benar perwujudan bencana.

Paralel PersamiWhere stories live. Discover now