[Miyoshi x Reader] - Unwirklich

100 6 0
                                    

Seumur hidup, aku selalu membenci kemampuan yang mengiringi sejak kecil—ah, jika bisa dibilang kemampuan sih, sebab bagiku ini kutukan. Banyak rasa takut justru tertanam dalam benak akibat kutukan itu. Dunia terasa tidak nyata selama dua dasawarsa hidupku. Namun, hal-hal mulai berbeda saat kaki kupijakkan di Jerman untuk menempuh pendidikan, serta pertemuan anehku dengan seseorang yang memiliki kenangan buruk dengan kereta api. Ah maaf, tadi aku bilang seseorang, ya?

UNWIRKLICH

a Joker Game Fanfiction by Anya L Gregson

Joker Game © Koji Yanagi

Author tidak mengambil keuntungan finansial atas fanfiksi ini.

Terinspirasi dari vlog Billy Christian dengan Om Hao KTJ dan Citra Prima di Jepang

Warning!
No romance, sedikit Asian-Racism (Well, sejak covid19 sepertinya anti-asian di Jerman makin banyak beritanya, yet emang dari dulu tetep ada masalah ini), wrong deutsch grammar cos I'm not speaking the language, bersangkutan dengan canon di anime, kesalahan editorial, hanya fiksi mau percaya atau tidak tentang perhantuan juga bebas.

Selamat membaca!

Kalau ditanya perasaan seseorang yang kini menjadi dewasa muda dan berada di negeri orang lain, tentu berat rasanya. Perbedaan bahasa dan kultur budaya adalah masalah terbesarku selama berkuliah di The Universität der Künste Berlin, tetapi sejatinya hal itu adalah risiko yang harus kujalani karena memilih hal di luar zona nyamanku. Kalau aku mengeluh ke tou-sama dan kaa-sama, justru aku akan diomeli; 'Salahmu sendiri, [name]-chan. Kau harus belajar bertanggungjawab atas pilihanmu', kira-kira seperti itu.

Akan tetapi, masalah lain yang membuat aku acap kali merasa sekujur tubuh terasa lesu adalah karena kemampuan melihat hal yang tidak kasat mata. Bayangkan saja, saat harus berkonsentrasi dengan penjelasan dosen atau sedang melukis objek di depan mata, konsentrasi mendadak terpecah oleh lirihan; "Bitte hilf mir ...." disertai sosok yang tiba-tiba lewat dan berdiri di dekatku dengan penampilan menyeramkan. Duh, rasanya aku harus pura-pura tidak mendengarkan mereka. Salah gestur sedikit, jika tidak sengaja bertemu pandang, yang ada jadi masalah lain untukku.

Belum dengan hal lainnya seperti ....

"Howdy, Schlitz Augé!" Suara derap langkah semakin mendekat, aku pun menghela napas dan menghentikan langkah menuju kelas, menunggu kedatangan manusia bermulut kotor tadi.

Nah, maksudku panggilan bersifat rasisme seperti itu. Jujur, aku lebih baik tidak tahu arti dari kata ofensif kepada fisik khususnya bentuk mata hanya karena aku berasal dari Asia, setelah tahu justru membuat darahku sedikit memanas. Tidak hanya satu-dua saja yang meledek seperti itu, terkadang pandangan meremehkan juga acap kali kuterima.

"Sudah kubilang berhenti mencemoohku seperti itu. Unhöflich, rude, you know? Kalau ada orang Asia lain yang dengar, bagaimana?" ujarku dengan bahasa Jerman bercampur Inggris kepada Agatha Guhr, pemilik mulut kotor tadi.

Aku hanya mendengkus saat ia memamerkan deretan giginya serta gestur v-peace dengan kedua jarinya. Untung saja, dia berteman cukup lama denganku dan memang candaannya frontal, jadi aku memaafkan. Jujur saja aku tidak banyak memiliki teman dengan darah Jerman selain Agatha, entah karena masalah ras atau kurang bersosialisasi karena lebih nyaman dengan sesama teman dari Asia lainnya. Agatha memang yang sejak awal berusaha mendekatiku, kurasa.

"Iya, iya. Aku bercanda, maaf. Ngomong-ngomong, kau sudah ada ide untuk workshop photography lab?" tanya Agatha sembari mengangkat tas berisi digital camera dan aksesorisnya. "Kudengar kau bosan dengan tema urban atau kota. Tema alam sepertinya menarik, bukan?"

Once Upon A TimeWhere stories live. Discover now