BAB I

15 1 0
                                    

Kelompok militer menyerbu tempat tinggal kami. Kami berlarian menghambur keluar rumah menghindari bom yang menghujan. Sudut-sudut puing-puing rumah yang hampir rata oleh tanah dan drum tempat sampah adalah tempat yang aman meskipun itu sementara. Mereka akan melewatkan memeriksa ongkokan sampah yang bertumpuk dengan mayat-mayat korban ambisi pemimpin mereka. Kujatuhkan tubuhku pada mayat laki-laki tua dengan dada penuh lubang yang masih mengalir darah segar. Tubuhku menggeliat bermandikan darah dan bau anyir sebelum menyeret mayat wanita muda berambut pirang panjang untuk menutupi tubuhku agar aman dari pengawasan mereka. Sebuah langka kaki terdengar mendekat penuh hati-hati. Lalu makin lama makin jauh, menghilang, dan mungkin telah pergi. Suasana di sekitar yang terlihat dari sela-sela helai rambut pirang mayat wanita yang menindih tubuhku memberiku isyarat bahwa aku sudah bisa keluar dan pergi dari tempat itu. Dengan pelan dan penuh waspada, aku beranjak, menyingkirkan mayat-mayat yang telah berjasa menyelamatku dari atas tubuhku. Lalu, sesuatu terasa menyentuh bagian belakang kepalaku. Sesuatu yang keras, namun tidak tajam. Aku tahu, kini aku berada pada posisi yang gawat. Hal yang mungkin hanya bisa menyelamatkanku adalah menyerahkan diri kepada mereka dan bersedia dibawa ke markas mereka untuk bekerja sebagai tenaga rodi di sana tanpa perlawanan apapun. Batang besi itu makin menekan kepalaku, mendorong agar aku berdiri mengikuti arahan darinya. Lalu, sebuah suara tembakan terdengar keras tepat dibelakangku. Sejenak aku termangu. Pikiranku melayang menembus awan. Kemana arah jalanku setelah ini? Aku, apakah kini telah benar berakhir seperti mereka yang beberapa detik yang lalu menyelamatku dalam diamnya? Tubuhku limbung tak kuasa menerima kenyataan bahwa perjuanganku akan berakhir di sini, seperti ini. Suara dentuman bom yang melayang di atasku menghiasi angan-anganku hingga seorang pria yang sedikit lebih tua dariku mengulurkan tangannya padaku. Dan aku pun terbangun dari tidur singkatku.

****

Aku terbangun. Panas mulai menjalari tubuhku. Bau-bau daging bakar menyengat menusuk hidungku. Aku menggeliat keluar dari tempat persembunyianku sepuluh menit yang lalu. Rupanya mereka mengangkut mayat-mayat yang tadinya hanya ditumpuk di tempat sampah ke bekas lumbung padi ini lalu membakarnya beserta berkarung-karung sampah dan jerami kering sebelum meninggalkannya ke barat, ke kota tujuan mereka berikutnya. Setelah kota Siprus di timur, lalu kota kami Olarus, dan selanjutnya kota Cheden di barat dan kota-kota lain yang akan mereka taklukkan. Hampir tidak ada tempat aman yang bisa kutuju, selain kawasan hutan Alays yang menjadi tumpuan sumber kehidupan negeri kami. Hutan yang sudah ada sebelum negeri kami berdiri. Satu-satunya sumber oksigen dan penyedia sumber air terbesar untuk kami. Hutan yang konon tempat tinggal roh-roh nenek moyang kami. Hutan yang tidak dapat ditembus oleh terik sinar matahari. Sudah kutetapkan, ke sanalah tujuanku. Hanya di sana aku bisa bersembunyi dari kejamnya orde ini hingga datangnya pemimpin baru yang mungkin akan sangat lebih baik atau bahkan lebih kejam dari ini. Aku berjalan menempuh jalur darat ke utara. Melewati sawah, ladang ilalang, dan semak belukar. Sesekali tiarap setiap ada pergerakan yang nampak di kejauhan, meskipun ternyata itu hanyalah sekelompok rusa yang berlarian dengan kawanannya. Setelah tiga hari dua malam, tibalah aku di sebuah sungai yang cukup besar dengan airnya yang begitu jernih dan tidak seberapa dalam. Cahaya bulan yang memantul dari dasar sungai sedikit membius kesadaranku untuk beristirahat sejenak di sana. Tetapi saat ini, aku tidak bisa beristirahat barang semenit saja. Pasukan militer Jenderal Eterna sewaktu-waktu bisa saja datang meski itu hanya untuk berpatroli. Kuraih sebuah ranting pohon yang patah dan terserak di tepian sungai untuk membantuku menahan beban tubuhku agar tak terseret arus sungai. Hembusan angin secara tiba-tiba muncul menerjangku hingga hampir saja aku terjatuh dibuatnya. Pohon beringin besar yang berjajar-jajar menyambut kedatanganku ke sana. Pohon yang usianya kuperkirakan sudah satu atau dua abad itu mengulurkan sulur-sulur dan ranting-ranting pohonnya memanjang hingga menyeberangi sungai. Menghalangi pandangan anjing-anjing pelacak yang sudah mulai mencium aroma tubuhku dari kejauhan. Semak-semak yang berada di sekitarnya kini bergerak menepi. Membukakan sebuah jalan setapak untuk kulewati. Sejauh pandang yang terlihat hanyalah pepohonan tinggi menjulang dan beriringan yang makin masuk ke dalam makin gelap hingga tak terlihat apapun di sana karena tak ada sedikit pun cahaya matahari yang dapat menembus lebatnya pepohonan. Tidak ada jaminan di sana akan lebih baik dari tempat tinggalku sebelumnya, atau lebih baik daripada menjadi budak para petinggi pelayan setia Jenderal Eterna. Decak air di tepi sungai mulai terdengar. Beberapa dari mereka mulai memasuki sungai, menyusuri jejakku yang tertinggal di sana. Antara tertangkap oleh mereka atau masuk ke dalam hutan yang tak tahu apa yang akan menyambutku di sana. Tidak ada waktu lagi. Aku harus mengerahkan semua tenaga yang tersisa untuk mencapai titik tergelap yang bisa kulihat di dalam hutan ini. Aku tak mau menjadi budak mereka. Setidaknya aku masih berhak memperjuangkan hidupku meskipun itu untuk kemungkinan-kemungkinan yang masih belum pasti.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 24, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MAGIC WORDS FOR ME (Mantra Sihir Untukku)Where stories live. Discover now