Bima memegangi dadanya, debaran jantung itu begitu nyata. Seperti itu rasanya jatuh cinta, hampir setiap saat wajah Erin selalu memenuhi otaknya. Tiap kali ingin terpejam serasa sulit, wajah itu selalu ada dipelupuk mata. Erin seakan telah menjadi bagian dalam jiwanya.
“Sayang, kamulah belahan jiwaku,” gumam Bima lagi masih terpejam.
Bima tidak peduli tatapan orang yang menatap heran padanya. Bahkan mungkin saja orang-orang itu menganggapnya tidak waras, ya, Bima memang sedang tidak waras, jatuh cinta membuatnya seperti orang gila.
Setelah puas Bima mengenang masa itu dia pun bangkit dan melangkah santai menuju mobilnya. Melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang menuju perusahaan ayahnya. Bukan datang untuk membantu ayahnya tapi datang untuk menemui Erin.
Erin dengan gaun selutut warna baby pink, berpadu blazer warna senada, sandal wedges dengan tali-tali kecil menghias kakinya. Rambut hitam panjangnya dia gerai, hanya dihiasi jepitan kecil di sisi kanan dan kiri. Melangkah pelan keluar menuju tempat parkir.
“Mbak Erin...”
Merasa ada yang menyapa dari arah belakang, Erin langsung berbalik. Matanya membulat, senyumnya mengembang setelah tahu orang yang menyapanya.
“Mas Bima?”
Bima langsung mendekat lalu memeluknya, “cantik banget sih, calon istriku.”
“Halah gombal.” Erin memukul pelan punggung Bima.
“Serius, kamu cantik, Sayang.” Bima mencium kening Erin tanpa melepas pelukannya.
“Kok, nggak bilang sih, mau pulang?” Erin tersenyum menatap Bima.
“Kejutan dong, oh ya, kita makan dulu habis itu baru aku antar kamu pulang.” Bima meraih jemari tangan Erin.
Erin balas menggenggam jemari tangan Bima kembali tersenyum sebelum bersama melangkah menuju mobil Bima. Dan perlahan mobil itu meninggalkan tempat parkir. Bima melaju tidak terlalu cepat hingga sampai di sebuah restoran.
Setelah masuk dan memesan makanan mereka ngobrol sambil bercanda tawa. Tanpa mereka sadari dari sejak keluar dari perusahaan Jaya Abadi mereka sudah diikuti seseorang, bahkan sampai kedalam restoran itu.
“Mas, aku ke depan dulu ya, ada yang mau aku beli, titipan Ibu.” Erin menunjuk mini market di seberang jalan, tepat di depan restoran itu.
“Oke, hati-hati jangan lama-lama, ya.” Bima mengusap rambut Erin.
“Iya sebentar saja kok, Mas Bima, tunggu saja di sini.” Erin beranjak, sempat tersenyum manis sebelum meninggalkan Bima.
Bima membalas senyuman Erin tidak kalah manisnya. Entahlah, baginya hari ini Erin begitu cantik dimatanya, memang selalu cantik menurutnya tapi kali ini beda, cantiknya seperti bersinar.
“Sekarang saatnya!” perintah orang yang dari tadi memerhatikan mereka begitu melihat Erin keluar.
Senyum Erin masih terukir saat melewati pintu restoran, dia merasa begitu senang lebih dari biasanya saat tadi Bima mendadak datang menemuinya. Ada rasa kangen, yang sepertinya telah menggunung, padahal baru seminggu tidak berjumpa.
Senyum itu seakan tidak ingin lenyap dari bibirnya, Erin berjalan hingga mendekati jalan raya, setelah memastikan kanan kiri aman dia pun melangkahkan kaki menyeberang jalan. Namun baru sampai tengah jalan, seperti dia dengar suara Bima meneriakkan namanya.
“Erin!”
Erin berbalik, seketika Bima langsung memeluk tubuhnya, dan…
Bugh! Cit… Brak!
Begitu cepat terjadi, tubuhnya tepental dan melayang lalu jatuh. Erin begitu takut sampai terpejam rapat. Terdengar suara gaduh, Erin membuka mata perlahan, tidak ada sakit yang dia rasa lalu menatap berkeliling, orang-orang sudah berkerumun mengelilinginya.
Merasa telah menimpa sesuatu Erin mengalihkan matanya menatap apa yang dia timpa. Matanya membelalak tidak percaya, tubuhnya berada di atas tubuh Bima, “Mas Bima?”
“Syukurlah kamu selamat, kamu tidak apa-apa kan, Sayang?” Bima tersenyum menatap Erin.
“Aku tidak__” kalimat Erin terputus begitu melihat darah keluar dari kepala Bima air mata keluar begitu saja.
Beberapa menit yang lalu.
Bima memutuskan menyusul Erin. Entah kenapa tiba-tiba hatinya merasa was-was. Dan benar saja begitu berhasil mengejar Erin sampai jalan raya, Bima melihat mobil dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya.
Tanpa pikir panjang Bima berlari mengejarnya, setelah dekat dia memanggilnya, merasa waktunya tidak cukup untuk menyelamatkannya Bima meraih tubuh Erin dalam dekapannya, memutar tubuhnya membiarkan mobil itu menabraknya membiarkan tubuhnya menggantikan tubuh Erin.
Keduanya terpental dan melayang namun Bima masih mempertahankan pelukannya, lalu kembali sebisa mungkin memutar tubuhnya agar tubuhnya yang jatuh lebih dulu di atas aspal, hanya untuk memastikan Erin tidak akan terluka.
Bima berhasil memutar dan kembali tubuhnya mengalami benturan keras kedua kali, bukan hanya tubuh namun juga kepalanya. Seketika kepalanya sakit, dan merasakan tulang kaki dan punggunggnya seperti patah.
YOU ARE READING
Unbreakable
Romance"Erin, perusahaan ini dan rumah besar itu milik Ayahku bukan milikku, aku tidak memiliki apa-apa selain rumah dinas sederhana yang sekarang aku tempati, maka lihatlah aku sebagai diriku sendiri, Erin, jangan lihat aku anaknya Pak Wijaya." Bima menar...
