Elo cemburu, itu tandanya apa?

11 5 2
                                    

Mood Alea mendadak anjlok begitu ia memasuki klinik Bian, dan mendapati sahabatnya itu sedang mengobrol akrab dengan seorang wanita muda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Mood Alea mendadak anjlok begitu ia memasuki klinik Bian, dan mendapati sahabatnya itu sedang mengobrol akrab dengan seorang wanita muda. Tak jauh dari keduanya, ada gadis kecil sedang duduk di lantai mencoret-coret kertas di hadapannya.

Binar di mata Alea spontan redup. Ia tadinya ingin memberi kejutan buat Bian, membawakan sate kambing kesukaannya untuk makan siang, tapi sekarang ia hanya bisa meremas gusar bungkusan sate di tangannya. Perlahan Alea beringsut meninggalkan tempat itu, dan pindah ke ruang tamu rumah induk.

Saking larutnya diaduk perasaan yang asing, Alea sampai tidak menyadari kehadiran Bian yang kini duduk di sampingnya, menatapnya bingung.

"Al, lo sejak kapan di sini?" Suara Bian yang tiba-tiba menembus rungunya, membuat Alea terkesiap.

"Bi-Bian! Lo ngagetin aja, sih! Kok di sini, bukannya tadi lagi asyik tuh ngobrol sama perempuan di klinik?" Tanpa sadar, Alea justru menyuarakan apa yang sedang bermain liar dalam pikirannya.

"Elo kenapa? Ngelamun gini, gue samperin malah sewot?" Bian bertanya penuh perhatian. "Elo, nggak lagi cemburu 'kan?"

"Dih, kepedean! Siapa juga yang cemburu?" Alea berkelit, tapi tidak berani menatap wajah Bian.

"Terus ini kenapa? Marah-marah nggak jelas gini? Lagi PMS?" Bian terus mendesak, tapi nada bicaranya tetap penuh perhatian. Alea tidak biasanya bersikap begini, itu yang membuat Bian jadi bertanya-tanya.

"Gue nggak kenapa-napa, Bi. Udah sana, lanjutin lagi ngobrolnya," usir Alea. Meski ia bilang tidak kenapa-kenapa, tapi raut wajah serta sikapnya jauh dari kata tersebut.

Bukannya mengikuti apa kata Alea, Bian justru terkekeh. Tangannya mengacau puncak kepala Alea, sebelum bergerak menyelipkan surai gadis itu ke belakang telinga, saat dirasa helaian legam yang jatuh menutupi sisi samping wajah Alea mengganggu sudut pandangnya. Perbuatan Bian itu mengundang jutaan kupu-kupu berterbangan dalam dada Alea.

"Elo lucu deh, Al kalo lagi merajuk gini," ucapnya sambil terus terkekeh.

"Apa, sih! Udah deh, sana ... urusin dulu pasien kamu, Bi." Lagi-lagi Alea mencoba mengusir Bian.

"Al, pasien gue udah balik. Lagian, ini udah waktunya makan siang. Gue mau ngisi perut dulu sebelum penghuni di sana pada demo," sahut Bian seraya menepuk pelan permukaan perutnya.

"Oh, ya udah. Makan gih, itu gue bawain sate kesukaan lo," tunjuk Alea pada bungkusan di atas meja.

"Perhatian banget sih, calon pacar gue." Bola legam Bian berbinar saat mengetahui Alea membawa makanan kesukaannya.

"Dih, calon pacar apaan? Jangan halu deh, lo!" sewot Alea, yang disahuti Bian dengan kekehan nyaring.

Kemudian cowok itu bergerak cepat, tak mau berlama-lama menganggurkan sate kambing favoritnya. Dengan lahap ia menyantapnya. "Lo nggak makan? Gue suapin, ya?" Alea hanya menggeleng pelan.

"Lo aja yang makan. Gue udah makan tadi di rumah," tolaknya.

Bian pun mengangguk-angguk sambil kembali menyantap satenya. Sedangkan Alea diam-diam mengamati wajah sahabatnya itu. Rasa perih tiba-tiba kembali menyeruak saat ia teringat interaksi yang terjadi antara Bian dengan wanita di klinik tadi. Ada perasaan tidak rela saat Bian begitu hangat mengobrol dengannya, sekaligus ketakutan akan kehilangan sosok sang sahabat yang makin memperkeruh suasana hatinya saat itu.

"Bi, yang tadi itu siapa?" Tanpa bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya, Alea memilih menanyakan langsung.

"Yang mana?" Bian malah balik bertanya, di sela kesibukannya menyantap makanan.

"Yang ngobrol sama kamu di klinik tadi." Alea mempertegas siapa yang ia maksud.

"Oh, itu. Dia itu ibunya pasien kecil yang sedang aku terapi, Al," terang Bian. "Memangnya kenapa?" Bian balik bertanya.

"Enggak. Kalian kelihatan akrab banget," lirih Alea. Gadis itu menunduk, berusaha menutupi kesedihan yang terpancar pada raut wajahnya. Mendengar itu membuat Bian menghentikan makannya, dan beralih menatap Alea.

"Al, lo kenapa?" Sorot mata dan intonasi Bian sarat dengan perhatian. "Gue ngerasa yang tadi itu biasa aja loh, Al. Wajar kalo kami akrab, karena seringnya ketemu. Jadwal terapi anaknya seminggu tiga kali, Al. Ya, gue cuma berusaha kasih support aja ke dia, biar dia juga yakin akan kesembuhan anaknya. Kasihan Al, di usianya yang masih sangat muda udah jadi single parent dengan putri yang memiliki kebutuhan khusus."

Alea mengangkat wajahnya, membalas tatapan Bian dengan senyum membingkai bibirnya, walau jelas terkesan dipaksakan. Rasa takutnya lebih mendominasi saat ini, takut kehilangan Bian.

"Gue bangga punya sahabat kayak elo, Bi. Rasa empati lo dalem banget. Elo juga sabar banget bantuin pasien-pasien kecil lo itu." Alea mengucapkan itu dengan suara bergetar, ia sedang berusaha menahan tangis.

Tapi gue juga takut kehilangan elo, Bi.

"Al, elo boleh terus mengelak, tapi sikap lo kebaca, elo cemburu 'kan, Al? Gue yakin, elo pasti paham cemburu itu artinya apaan." Bian berubah serius saat mengatakan itu. Tatapannya pun begitu dalam, membuat Alea membuang pandang ke arah lain.

"Sampai kapan lo mau terus bohongin diri lo, Al? Kapan elo mau ngebuka hati buat gue?" Bian terus saja bersuara, seolah menampar Alea dengan apa yang ia ucapkan.

Elo nggak ngerti, Bi. Gue takut, perasaan itu bakal hancurin persahabatan kita. Gue takut, semuanya berubah karena cinta.

Pertahanan Alea runtuh juga, setetes air mata berhasil luruh membasahi pipinya.

Pertahanan Alea runtuh juga, setetes air mata berhasil luruh membasahi pipinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sahabat Level UpWhere stories live. Discover now