9. Cinta Lokasi Merenggut Cinta Suci

Start from the beginning
                                    

"Aku tidak hanya mencurigai kamu hendak pindah ke Gunadigital. Justru aku sedang menerka apa kamu orangnya." Imbuhnya yang menerka pikiranku dengan tepat.

"Maksudnya?"

"Tunangan misterius Presiden Direktur Gunadigital Group yang beberapa tahun ini disembunyikan."

"Ngaco!" Tidak ada dalam ingatan Ninda sama sekali nama Tamawijaya apalagi pertunangan dengannya.

"Iya sih, ngaco. Kalau kamu orangnya, kenapa dia membiarkanmu bertahan sekian tahun di agensi kita."

Aku tidak memikirkan dugaan ke dua Mbak Dahlia, karena dugaan pertama berhasil menganggu kepalaku yang pening. Seandainya begitu, penawaran tidak masuk akal dari Gunadigital tempo hari lewat email itu menjadi logis.

"Permisi, Mbak Ninda harus bone scan dan rontgen ulang. Untuk mengetahui tindakan dokter selanjutnya." Seorang suster mendorong kursi roda ke arahku.

"Oh, silahkan" Mbak Dahlia merujar ramah. Aku sendiri sedikit curiga, heran pada prosedur RS ini. Bukankah semalam aku sudah melakukan rontgen, bone scan, bahkan MRI? Masak belum 24 jam sudah harus diperiksa lagi.

Suster membantuku duduk di kursi roda, padahal kakiku tidak sakit. Tapi ya sudahlah, dari pada membuang tenaga dengan jalan kaki.

Kecurigaanku terjawab, ketika suster justru memasuki ruang dokter ortopedi yang di dalamnya bukan dokter, tapi satu-satunya pria yang paling ingin ku hindari.

Tamawijaya, duduk di sana dengan kaki yang menyilang anggun. Aura bangsawan melingkupi tubuhnya yang kharismatik. Matanya yang sedalam lautan, menatapku lurus dan misterius.

Saat mata kami bertemu, pria itu segera bangkit disertai raut khawatir. "Nda, bagaimana lenganmu?"

Aku tertegun, suara bariton yang dalam itu menyebutku 'Nda' dengan dominasi yang kental. Efeknya, sebutan aneh tapi terasa akrab itu mengguncang eksistensi jiwaku yang sudah tua dan rapuh ini.

'Nda', katanya? Mengapa terdengar seperti dia memanggilku dinda atau adinda, daripada Ninda. Ah, apa dia tidak mengantisipasi apa akibat dari panggilan kecil itu padaku?

Tamawijaya sudah berdiri tepat di depan kursi rodaku, lambaian tangannya mengusir suster dan membuat kami hanya berduaan saja.

"Pak ~"

"Tama saja, Nda..." potongannya.

Suara dan panggilan aneh itu terdengar begitu menggelitik sampai rasanya aku ingin sekali tergelak. Jadi ku gigit bibirku setelah menelan tawa.

"Ada apa, kenapa kamu terlihat senang sekali?" Dahinya mengernyit, tapi senyumku menular padanya yang terlihat begitu memanjakan mata. Maksudku dia makin tampan karena tersenyum tipis, sangat tipis sekali tapi membuatku memujinya seribu kali. Aih, pantas saja Mbak Dahlia yang punya mata jeli mengenali fisik calon bintang mengatakan Tamawijaya cakep.

Astaga, bibirku makin melengkung. Ini lucu bukan bahagia seperti yang dia pikirkan padahal, kan? Pikirku ketika senyum Tama tidak juga pupus.

Aku berdehem membersihkan suara, tawa geli tak lagi bisa ku tahan. Dan setelah merasakan kematian lalu hidup kembali, ini adalah pertama kalinya aku merasa lepas, walau tak ku pungkiri ada kecanggungan karena tentu saja ini adalah Tama.

Aku menyambut uluran tangannya yang memintaku berdiri. Wajah sempurna itu memiliki alis tebal yang menarik. Bulu matanya sesuai proporsi lelaki, tidak lentik tapi tetap maskulin.

"Tama, apa kita pernah bertemu sebelum ini?" Tubuh kami saling berhadapan, dia yang tinggi membuat aku harus mendongak.

Pria itu terkekeh dalam irama rendah yang justru terdengar menyenangkan alih-alih menakutkan.

"Ini kali ke dua kamu bertemu denganku." Ungkapnya ringan dan santai. Tapi apapun yang terpancar dari tubuhnya adalah ancaman untuk setiap wanita.

"Apakah itu artinya... anda sudah pernah melihatku sebelum di stasiun tv?" Aku sungguh-sungguh ingin tahu.

Pria itu hanya memamerkan senyum misterius yang teramat tenang.

"Mengapa tidak ada dokter di sini?" Aku menyuarakan kebingunganku.

Tama yang memilih duduk pada sofa tunggal membiarkan aku berdiri di hadapannya. Dari jarak ini pria itu mengamati ku dalam diam.

Di kehidupan sebelumnya aku pernah melihat secara langsung patung dewa hermes yang tampan sempurna, tapi di hadapanku sekarang paras rupawan sebuah kesempurnaan nyata-nyata tersaji indah dan dia hidup, bukan sekedar patung. Aku tidak melebih-lebihkan, Tamawijaya memang dianugerahi fisik luar biasa.

Lama-lama aku tak nyaman juga terus beradu senyum dengannya, jadi aku hendak duduk di sofa lain di hadapannya dan meminta ijin.

"Tama apa aku b ~ "

Aku gagu, keberanianku mengeja namanya terasa menciut. Mata Tama yang tak goyah itu seakan menembus ke dalam tulang walau bibirnya masih merekah.

Ya ampun, mengapa aku dipertemukan dengan pria berbahaya ini. Mengeluh adalah caraku menguatkan hati.

"Nda, apa ayahmu sudah menghubungi mu?"

Tunangan Misterius PresdirWhere stories live. Discover now